Pendahuluan
Di salah satu media online nasional
pernah diberitakan salah seorang menteritidak tepat menyebutkan lokasi
kabupaten di provinsi tertentu ketika terjadi bencana tanah lonsor. Kesalahan
tersebut diketahui dari twiter yang ditulis beliau saat menyampaikan ucapan
belasungkawa. Kesalahan tersebut mendapat respon beragam dari masyarakat.
Ketidaktepatan menteri menyebut lokasi bisa disebabkan oleh dua hal, pertama
karena salah menulis atau lupa, kedua karena benar-benar tidak tahu. Pada
peristiwa lain, banyak dari siswa terlambat masuk kelas dengan alasan hujan,
karena saat itu sedang musim hujan.
Kesalahan menyebut lokasi dan terlambat
masuk kelas karena hujan menjadi salah satu indikator bahwa kesadaran keruangan
masyarakat perlu ditingkatkan sebagai salah satu persyaratan masyarakat
mencintai linkungan. Saat musim hujan seharusnya siswa melengkapi diri dengan
payung atau jas hujan agar tidak terhambat aktivitasnya. Faktanya, banyak yang
tidak peduli mensikapi kondisi cuaca.
Fenomena
sehari-hari telah direspon masyarakat terdahulu melalui "ilmu titen"
yang berlangsung lama sehingga menghasilkan pengetahuan sebagai wujud
kecerdasan lokal.
Kecerdasan Lokal
dalam Pembelajaran
Kecerdasan lokal bisa juga dimaknai
sebagai kearifan lokal yang mendeskripsikan sifat-sifat lokal yang menunjukkan
kearifan, kebijaksanaan, penuh nilai, diyakini dan dipertahankan masyarakat
setempat, dan dianggap mempunyai kelebihan dan keluwesan dalam menghadapi
tantangan lingkungan fisik dan sosial. Lokal berarti setempat, sedangkan arif
dimaknai sebagai kebaikan, kebijaksanaan, keutamaan dan istilah lain yang
mempunyai makna positif sebagai branding
yang membedakan dengan daerah lain. Kita akan menemukan bentuk-bentuk aktivitas
masyarakat yang bersifat khas, unik, dan berbeda dengan daerah lain sebagai tetenger wilayah tertentu. Semakin unik
daerah tersebut akan semakin mampu mencitrakan diri sebagai daerah yang penuh
nilai-nilai keluhuran. Keunikan tersebut muncul karena nilai-nilai yang muncul
di daerah tersebut senantiasa disimpan, dijaga, dan diimplementasikan oleh
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, baik terwujud dalam pemikiran,
aktivitas, maupun artefak yang dapat dideteksi.
Kecerdasan lokal lokal muncul karena respon
manusia terhadap tantangan alam yang beragam, dimana bisa saja satu fenomena
yang sama direspon dengan cara beragam sehingga menghasilkan identitas kultural
masyarakat yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan
aturan khusus yang telah teruji kemampuannya sehingga dapat bertahan secara
terus menerus. Kearifan lokal pada prinsipnya benilai baik dan merupakan
keunggulan budaya masyarakat setempat dan berkaitan dengan kondisi geografis
secara luas. Menurut Keraf (2002), kearifan lokal adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika
yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Menurut Wagiran (2012), kearifan lokal
dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local
wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan
setempat (local genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah
pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang
baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai
karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk
kemuliaan manusia. Lantaran itu, kearifan lokal merupakan perwujudan dari daya
tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan melalui pandangan hidup,
pengetahuan, dan pelbagai strategi kehidupan yang berupa aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya. Dalam pengertian inilah
kearifan lokal sebagai jawaban untuk bertahan dan menumbuhkan secara
berkelanjutan kebudayaan yang didukungnya.
Setiap masyarakat termasuk masyarakat
tradisional, dalam konteks kecerdasan lokal seperti itu, pada dasarnya terdapat
suatu proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan. Hal itu berkaitan
dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan,
sehingga warga masyarakat secara spontan memikirkan cara-cara untuk melakukan,
membuat, dan menciptakan sesuatu yang diperlukan dalam mengolah sumber daya
alam demi menjamin keberlangsungan dan ketersedianya sumber daya alam tanpa
mengganggu keseimbangan alam.
Dalam proses tersebut suatu penemuan
yang sangat berharga dapat terjadi tanpa disengaja. Artinya, setiap warga
masyarakat dapat menghimpun semua informasi, mengingat secara komunal dan
melestarikannya, serta mewariskannya turun temurun sebagai upaya melangsungkan
kehidupannya. Sejalan dengan perubahan budaya yang menerpa kehidupan
masyarakat, masyarakat juga secara perlahan mengembangkan pengetahuan yang
telah diwariskan, dan kemudian menciptakan metode untuk membangun pengetahuan.
Penciptaan pengetahuan itu pada dasarnya merupakan cara-cara atau teknologi
asli (indigenous ways) guna mendayagunakan sumber daya alam bagi
kelangsungan kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, masyarakat mengembangkan
suatu sistem pengetahuan dan teknologi yang asli (indigenous or local
knowledge), yang mencakup berbagai macam cara untuk mengatasi kehidupan,
seperti kesehatan, pangan dan pengolahan pangan, serta konservasi tanah.
Kecerdasan lokal yang sedemikian itu,
umumnya berbentuk tradisi lisan, dan lebih banyak berkembang di daerah
perdesaan. Pengetahuan itu dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk
menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi,
kondisi, kemampuan dan nilai-nilai yang dihayati di dalam masyarakatnya. Karena
itu, pengetahuan lokal menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif, agar
dapat memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi, sehingga mereka
dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan, dapat berkembang secara berkelanjutan.
Kecerdasan lokal merupakan produk budaya
yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan masyarakat. Budaya
adalah hasil cipta, rasa, dan karsa yang bersumber pada kepekaan manusia
menjawab tantangan lingkungan sekitar untuk tetap bertahan dan mengembangkan
kemampuan kesejahteraan. Dengan kemampuan berpikir, manusia mengembangkan
pengetahuan yang dimilikinya untuk tidak menyerah pada kondisi lingkungan
tertentu, sampai muncul konsep-konsep gagasan yang dihasilkan, dilanjutkan
dengan perilaku adaptif, dan mengupayakan wujud yang secara fisik dapat
dimanfaatkan untuk menaklukan alam. Peralatan yang digunakan manusia, baik
sederhana maupun modern hakekatnya adalah mengatasi tantangan alam, baik fisik
maupun geografis. Periode sekarang kita mengenal internet dan mobile phone
untuk menghubungkan antar manusia yang terpisah secara geografis. Dengan
demikian kecerdasan yang dimiliki manusia hakekatnya diperuntukkan menjawab
tantangan alam.
Tidak semua produk kecerdasan manusia
(budaya) dianggap sebagai kearifan lokal. Perlu diperhatikan pendapat S.Swarsi
Geriya (2003), secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan
kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika,
cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal dengan
demikian adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan
dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal
bersifat historis tetapi positif. Nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian
diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya
tidak menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah
sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak
dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem ekologi/ekosistem
yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan melaksanakan kearifan itu.
Sebagai negara yang kepulauan yang luas,
Indonesia kaya dengan pengetahuan, tradisi, dan artefak yang menjadi identitas
masing-masing kelompok masyarakat sebagai respon tantangan alam. Banyak
pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil mengingat fenomena alam yang
berulang-ulang, dan diimplementasikan melalui aktivitas sehari-hari dan
benda-benda teknologi sebagai sarana mereka untuk tetap bertahan.
Salah satu contoh pengetahuan masyarakat
yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari adalah sistem penanggalan
"pranatamangsa (pranotomongso)" petani masyarakat di Jawa. Penanggalan
tersebut menjadi salah salah satu panduang bagi petani untuk menentukan kapan
mereka harus menanam, dan kapan mereka harus membiarkan tanah untuk memulihkan
kesuburannya. Pranatamangsa merupakan sebuah sistem penanggalan tentang
penentuan musim yang dijadikan pedoman masyarakat tani pada zaman dulu.
Pranotomongso berasal dari kata Pranoto dan Mongso. Mongso
artinya musim. Pranotomongso merupakan bagian dari perhitungan Petangan
Jawi yang juga menghitung baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan
watak suatu hari, tanggal, bulan, tahun, wuku, pranotomongso.
Pranatamangsa sangat akrab dengan
kehidupan pertanian terutama bagi petani masa lalu, sebagai sebuah pedoman
dalam bercocok tanam jauh sebelum masuknya agama Hindu. Kalender Pranatamangsa
ini sudah diberlakukan oleh masyarakat Jawa sebelum Hindu datang, kemudian
dibakukan oleh Sri Paku Buwono VII (raja kerajaan Surakarta) pada tahun 1855 M.
Pada saat itu Raja memberi patokan bagi para petani agar mempunyai hasil panen
yang baik. Ini dilakukan untuk menguatkan sistem penanggalan yang mengatur tata
kerja dalam ruang dan waktu bagi masyarakat tani untuk mengikuti peredaran
musim dari waktu ke waktu. Selama ribuan tahun nenek moyang telah menghafalkan
pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya, sehingga mereka dapat membuat
kalender tahunan bukan berdasarkan kalender syamsiah
(masehi) atau kalender komariah
(Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim
penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta
pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut.
Penanggalan Pranatamangsa ini disusun dengan
melihat kebiasaan kejadian-kejadian alam pada masa itu yang dianalisis secara
cermat untuk menghasilkan 12 bulan yang mempunyai karakter berbeda. Ke 12 bulan
tersebut yaitu: 1) Kaso, “sotyo
murco saking embanan” (mutiara lepas dari pengikatnya), musim daun-daun
gugur pohon-pohon jadi gundul, 2) Karo,
“bantolo rengko” (tanah retak), musim tanah jadi gersang dan
retak-retak, 3) Katigo, “suto
manut ing bopo” musim pucuk tanaman menjalar pada rambatan, 4) Kapat, “waspo kumembeng jroning kalbu” musim sumber-sumber jadi kering, 5)
Kalimo, "pancuran emas
sumawur ing jagad”, mulai musim hujan, 6) Kanem,
“roso mulyo kasucian” musim pohon-pohon mulai berbuah, 7) Kapitu, “wiso kenter ing maruto”, musim
bertiupnya angin yang mengandung bias (penyakit), 8) Kawolu, “anjrah jroning kayun” musim kucing kawin, padi
mulai berubah, banyak uret, 9) Kasongo,“wedaring
wono mulyo” musim jangkrik, gasir, gareng poung, (banyak orang bicara
berlebih-lebihan), 10) Kasepuluh, “gedong
mineb jroning kalbu” musim binatang-binatang hamil, dastho, “Sotyo
sinoro wedi” musim burung-burung menyuapi anaknya. sodo, “Tirto sah
saking sasono” (air pergi dari tempatnya), musim dingin, orang jarang berkeringat
karena teramat dingin, 11) Kasewelas,
(destha atau padawana) dan 12) Karolas, (sadha atau asuji).
Pembelajaran
Geografi di Sekolah
1. Konsep Lokasi, yaitu letak di
permukaan bumi, misalnya Gunung Bromo terletak di Jawa Timur, Sungai Barito
terletak di Kalimantan Selatan, Pantai Losari terletak di Sulawesi Selatan.
2. Konsep Jarak, yaitu jarak dari
satu tempat ke tempat lain yang dibedakan menjadi jarak absolut dan jarak
relatif. Jarak absolut merupakan sesungguhnya di atas permukaan bumi, sedangkan
jarak relatif adalah jarak tidak sesungguhnya karena dipengaruhi oleh rute,
waktu, biaya, kenyamanan dan sebagainya.
3. Konsep Keterjangkauan, yaitu
mudah atau tidaknya suatu tempat dijangkau. Keterjangkauan dipengaruhi oleh
jarak sarana prasarana, dan perkembangan teknologi.
4. Konsep Pola, yaitu persebaran
fenomena antara lain misalnya pola pemukiman yang menyebar, yang berbentuk
garis dan sebagainya.
5. Konsep Morfologi, yaitu bentuk
lahan, misalnya dalam kaitannya dengan erosi dan sedimentasi.
6. Konsep Aglomerasi, yaitu
pola-pola pengelompokan/ konsentrasi. Misalnya sekelompok penduduk asal daerah
sama, masyarakat di kota cenderung mengelompok seperti permukiman elit,
pengelompokan pedagang dan sebagainya. Di desa masyarakat rumahnya
menggerombol/mengelompok di tanah datar yang subur.
7. Konsep Nilai Kegunaan, yaitu
nilai suatu tempat mempunyai kegunaan yang berbeda-beda dilihat dari fungsinya.
Misalnya daerah wisata mempunyai kegunaan dan nilai yang berlainan bagi setiap
orang. Tempat wisata tersebut belum tentu bernilai untuk pertanian atau fungsi
lainnya.
8. Konsep Interaksi dan
Interdependensi, yaitu keterkaitan dan ketergantungan satu tempat dengan tempat
lainnya, misalnya antara kota dan desa sekitarnya terjadi saling membutuhkan.
9. Konsep Deferensiasi Areal, yaitu
fenomena yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya atau kekhasan
suatu tempat.
10. Konsep Keterkaitan Keruangan
(asosiasi), yaitu menunjukkan derajat keterkaitan antar wilayah, baik mengenai
alam atau sosialnya.
Suharyono (2013) mengingatkan kembali
inti hasil seminar nasional pengajaran ilmu bumi yang diselenggarakan tahun 1972
tentang saran-saran positif bagi terselenggaranya pengajaran geografi yang
layak. Seharusnya geografi sekolah memiliki tujuan yang hidup, bukan sekedar
menghidangkan sederetan nama tempat, gunung dan sungai, atau menceritakan
tentang kehidupan di sekitar atau memberi petunjuk untuk bersikap toleran
terhadap orang yang berasal dari luar yang berbeda warna kulit, bahasa, agama,
makanan, dan pakaian. Seminar 1972 tersebut mengusulkan sejumlah tujuan
pengajaran geografi yang meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, maupun
sikap, yang meliputi: a) menanamkan kesadaran ke Tuhan Yang Maha Esa, b)
mengembangkan cara berpikir untuk dapat melihat dan memahami relasi dan
interaksi gejala-gejala fisis maupun sosial dalam konteks keruangan, c)
menanamkan kesadaran masyarakat, d) menanamkan rasa etis dan estetis, e)
menumbuhkan pengenalan dan kecintaan akan tanah air serta menanmkan rasa cinta
dan hormat kepada sesama manusia, f) memberikan kemampuan untuk membudayakan
alam sekitar serta menanamkan kesadaran akan keharusan kerja dan berusaha untuk
dapat menikmati atau memanfaatkan kekayaan alam sekitar, g) mengembangkan
keterampilan untuk melakukan pengamatan, mencatat, memberi tafsiran,
menganalisis, mengklasifikasikan dan mengevaluasi gejala-gejala serta proses
fisi dan sosial dalam lingkungannya, h) memupuk keterampilan membuat deskripsi
dan membuat peta, i) mengembangkan keterampilan membuat deskripsi dan komparasi
wilayah, j) memupuk kesadaran ekologi, k) memupuk kesadaran dan perlunya
keseimbangan potensi wilayah dan populasi, l) menanamkan pengertiantentang
potensi lingkungan dan kemungkinan-kemungkinan usaha yang ada dalam lingkungan
serta mengembangkan pandangan luas dan cita-cita yang rasional dalam memilih
dan mengkreasikan lapangan kerja.
Agar materi pembelajaran geografi tidak
salah sasaran, maka perlu dipertimbangkan strategi yang tepat agar materi
geografi tidak dianggap sebagai pelengkap penderitaan bagi siswa yang belajar.
Strategi perlu dibedakn sesuai dengan tingkatan siswa. Pengajaran geografi pada
siswa SD berbeda dengan SMP dan SMA, yang intinya tiap tingkatan pendidikan
memerlukan strategi yang berbeda. Pada tingkat SD pelajaran geografi masih
bersifat deskriptif dan memberikan pemahaman dasar tentang fenomena (gejala)
lingkungan alam dan kehidupan di muka bumi dengan membatasi materi pada hal-hal
yang paling esensial, yang sejalan dengan pengetahuan sejarah, ekonomi dan
pengetahuan sosial yang diberikan pada siswa SD dalam wadah mata pelajaran IPS.
Materi disampaikan dari hal nyata lingkungan terdekat siswa, kemudia meluas dan
kian abstrak pada kelas-kelas lanjut (sesuai dengan tinkat pemahaman siswa SD.
Guru perlu melengkapi pembelajaran dengan media bantu yang sesuai agar tidak
terjadi salah pemahaman. Media yang dapat digunakan diantaranya peta, globe,,
dan media lain yang dianggap sesuai yang dapat dimanfaatkan. Guru dapat
memanfaatkan naluri bermain siswa SD untuk mengembangkan pembelajaran yang
lebih menyenangkan. Siswa SD tidak perlu ditarget mampu mendeskripsikan
pengetahuan geografi secara tekstual, tapi cukup mampu menceritakan pengalaman
siswa tentang lingkungan sekitarnya.
Pada tingkatan SMP guru bisa
menyampaikan materi melalui konsep-konsep yang lebih abstrak (sesuai tingkatan
siswa SMP). Materi pelajaran geografi
perlu dilengkapi dengan pengamatan langsung di lapangan atau melihat keadaan
sebenarnya yang dijumpai dalam realitas kehidupan. Kegiatan itu perlu karena:
a) perlu untuk pemantapan dalam pembentukan konsep-konsep penting guna
pemahaman konsep esensial geografi, b) perlu conto-contoh materi berkaitan
dengan upaya pengembangan muatan lokal. Sebagai informasi, perkembangan
kurikulum telah menetapkan bahwa materi geografi diberikan kepada siswa bersama
materi ekonomi, sejarah, dan sosiologi dalam wadah mata pelajaran IPS. Guru
yang mengampu mata pelajaran IPS juga beragam latar belakang pendidikannya, ada
yang berasal dari lulusan pendidikan ekonomi, sejarah, sosiologi, IPS, bahkan
di beberapa sekolah masih ada guru IPS yang berasal dari lulusan di luar
jurusan yang telah disebutkan dengan berbagai penyebab. Untuk mendukung
kegiatan pembelajaran guru perlu menggunakan media yang sesuai dengan kondisi
siswa, kemampuan sekolah, dan materi yang akan diajarkan. Penggunaan media
gambar, slide, video, dan media lain merupakan alat bantu yang efektif untuk
menuntun siswa memahami materi yang bersifat abstrak dan yang penting laigi
menumbuhkan kemampuan berliterasi geografi. Pada siswa SMA/MA, materi geografi
telah disusun secara mandiri sebagai mata pelajaran geografi.
Ada beberapa faktor geografi tidak
dianggap menarik di sekolah. Menurut Enok Maryani (2006), faktor-faktor
tersebut adalah a) pelajaran geografi seringkali terjebak pada aspek kognitif
tingkat rendah yaitu menghafal nama-nama tempat, sungai dan gunung, atau
sejumlah fakta lainnya, b) ilmu geografi seringkali dikaitkan ilmu yang hanya
pembuatan peta, c) geografi hanya menggambarkan tentang perjalanan perjalanan
manusia di permukaan bumi, 4) proses pembelajaran ilmu geografi cenderung
bersifat verbal, kurang melibatkan fakta-fakta aktual, tdak menggunakan media
kongkrit dan teknologi mutahir, e) kurang aplikabel dalam memecahkan
masalah-masalah yang berkembang saat ini.
Daftar Pustaka
Enok
Maryani. 2006. Geografi dalam Perspektif Keilmuan dan Pendidikan di
Persekolahan
Iwan
Hermawan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung. Private Publishing
Suharyono
& Moch. Amien. 2013. Pengantar Filsafat Geografi. Yogyakarta. Penerbit
Ombak
Wagiran. 2012. Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal
"Hamemayu Hayuning Bawana"(Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis
Budaya). Jurnal Pendidikan
Karakter, Tahun II, Nomor 3, Oktober 2012