Jul 12, 2011

PERAN PENDIDIKAN GEOGRAFI DALAM MENCIPTAKAN SEKOLAH BERWAWASAN KONSERVASI LINGKUNGAN DAN MITIGASI BENCANA

Eva Banowati
Dosen Jurusan Geografi FIS Unnes

Pendahuluan
Dalam dekade terakhir masih segar dalam ingatan, di negara kita sering dilanda berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana yang diakibatkan oleh perilaku manusia yang tidak bersahabat dengan lingkungannya. Sebutlah bencana gempa yang melanda Banda Aceh di tahun 2004, disusul kembali bencana gempa di Suka Bumi-Jawa Barat, belum selesai bencana tersebut muncul kasus Lumpur Sidoarjo (lapindo), kemudian disusul lagi Gempa Yogyakarta, Gempa di Mentawai, Meletusnya Gunung Merapi, Gunung Karakatau dan Bromo. Sederetan bencana telah memberkan pelajaran bagi bangsa kita, betapa tidak berdayanya kita menghadapi peristiwa tersebut. Belajar dari sejarah bencana tersebut, perlu kita sikapi bersama mitigasi apa yang akan dilakukan oleh berbagai komponen bangsa, agar secara mental dan teknis kita sudah siap menghadapinya bila terjadi bencana yang serupa.
Dalam makalah singkat ini, saya mencoba untuk memaparkan bagaimana peran pendidikan geografi di sekolah untuk menciptakan sekolah berwawasan konservasi lingkungan dan mitigasi bencana.

Geografi Sebagai Persfektif Ilmu pengetahuan
Perbincangan tentang jati diri Geografi telah beberapa kali dilakukan di Indonesia, baik melalui lokakarya, seminar maupun melalui sarasehan yang dilakukan oleh Fakultas/Jurusan/Departemen Geografi, organisasi profesi (IGI) dan ikatan alumni (IGEGAMA). Jati diri suatu disiplin ilmu dapat ditelaah dari definisinya. Bintarto (1981) dalam papernya berjudul Suatu Tinjauan Filsafat Geografi mengemukakan Geografi mempelajari hubungan kausal gejala-gejala di muka bumi dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka bumi baik yang fisikal maupun yang menyangkut mahkluk hidup beserta permasalahannya, melalui pendekatan keruangan, ekologikal dan regional untuk kepentingan program, proses dan keberhasilan pembangunan Seminar dan lokakarya yang dilaksanakan di Jurusan Geografi, FKIP, IKIP Semarang tahun 1988 telah menghasilkan rumusan Geografi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perbedaan dan persamaan fenomena geosfer dengan sudut pandang kelingkungan, kewilayahan dalam konteks keruangan.
Rumusan dua definisi Geografi tersebut sedikit berbeda namun memberikan ketegasan dan kejelasan tentang obyek kajian dalam Geografi baik obyek material maupun formalnya. Obyek materialnya adalah gejala, fenomena, peristiwa di muka bumi (di geosfer), sedang obyek formalnya adalah sudut pandang atau pendekatan: keruangan, kelingkungan dan kompleks wilayah. Ketegasan obyek formal kajian Geografi penting untuk membedakan kajian dengan disiplin ilmu lain yang obyek materialnya juga fenomena geosfer. Definisi Geografi versi Semlok Semarang tersebut masih banyak digunakan dalam proses pembelajaran geografi di sekolah dan perguruan tinggi, dan bukan satu-satunya yang harus diajarkan kepada peserta didik, karena masih banyak definisi lain yang perlu disampaikan untuk memperkaya dan memperluas wawasan tentang jati diri geografi seperti yang dikemukakan oleh Hartshorne, 1964; Bradford, 1982; Suharyono dan Amien, 1994; Castre et al, 2005.
Variasi definisi tersebut di atas juga memberikan ketegasan kepada kita bahwa obyek kajian Geografi adalah fenomena geosfer dan sudut pandangnya adalah keruangan, kelingkungan dan kewilayahan meskipun dengan rumusan yang berbeda. Rumusan yang berbeda dari definisi Geografi dapat dipahami dengan munculnya pandangan Geografi yang menyatakan bahwa geografi adalah apa yang dikerjakan oleh Geograf. Dari definisi tersebut, aspek lingkungan mendapat tekanan yang lebih. Hal tersebut sangat mungkin diinspirasi oleh permasalahan lingkungan yang semakin meningkat dan mengglobal di muka bumi ini, seperti perubahan iklim global, penurunan kualitas lingkungan, bencana banjir, kekeringan, longsor, kemiskinan, penurunan dan kerusakan sumber daya alam. Permasalahan lingkungan dan bencana yang banyak terjadi sebagai akibat ketidak imbangan interaksi antara lingkungan dengan aktifitas manusia. Interaksi lingkungan-manusia merupakan sebagian dari kajian geografi yang menggunakan pendekatan kelingkungan. Oleh sebab itu permasalahan lingkungan menjadi perhatian geograf, dan selain itu geografi sebagai ilmu yang berorientasi pada pemecahan masalah (problems solving). Permasalahan lingkungan bersifat kompleks, multi dimensi, saling kait mengkait, sehingga pemecahannya memerlukan pendekatan terpadu.
Untuk menuju geografi terpadu (unifying geography) perlu ditegaskan komponen inti Geografi. Matthews, et al., (2004) mengusulkan empat komponen inti Geografi: ruang (space), tempat (place), lingkungan (environment) dan peta (maps). Ruang, tempat, lingkungan dan peta menjadi label dari Geografi. Komponen tersebut mempunyai kedudukan yang sama dalam kajian Geografi, baik dalam kajian Geografi Fisik maupun Geografi Manusia. Demikian juga dapat menjadi dasar konsep untuk disiplin Geografi secara utuh.

Geografi dalam Pembelajaran di Sekolah
Pendidikan geografi bergerak pada ranah pengetahuan, kecakapan, perilaku untuk membentuk pengalaman anak didik yang berwawasan konservasi dan kemampuan mitigasi bencana. Hal ini berkaitan dengan ruang lingkup lingkungan geografi yaitu lingkungan perilaku (behavior environment) dan lingkungan fenomena (phenomena environment). Konservasi dan mitigasi bencana penekanan kajiannya pada aspek aktivitas manusia dalam konteks keruangan dalam menyikapi alam. Hal ini merupakan fakta bahwa manusia bertempat tinggal di suatu ruang/ wilayah. Fenomena kerusakan lingkungan berpontensi mengancam eksistensi manusia. Sehubungan dengan hal itu pembelajaran geografi dalam pemecahan masalah membawa pertanyaan fundamental yakni: “Where is it?, Why is it there? dan What follow from it being there?
Berdasarkan struktur keilmuannya, Geografi adalah disiplin ilmu yang mengkaji tentang fenomena permukaan bumi atau geosfer. Geografi merupakan ilmu yang mencitrakan, menerangkan sifat – sifat bumi, menganalisis gejala – gejala alam dan penduduk, serta mempelajari corak yang khas tentang kehidupan dari unsur-unsur bumi dalam ruang dan waktu. Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa Geografi adalah ilmu pengetahuan yang menggambarkan, melukiskan atau mendeskripsikan hal – hal yang berkaitan dengan persamaan dan perbedaan, baik yang terdapat di daratan, lingkungan perairan, lingkungan udara, maupun lingkungan kehidupan. Geografi terutama merupakan kajian tentang fenomena alam, dan kaitannya dengan manusia di permukaan bumi (Bintaro, 1991; BSNP, 2006).
Hakekat sasaran geografi meliputi: hubungan manusia dan lingkungan, dan region sebagai hasil aktivitas manusia dalam ruang. Keeratan hubungan melalui relasi, interrelasi, interaksi, diferensiasi unsur-unsur alamiah dan manusiawi dalam ruang tertentu di permukaan bumi. Geografi terpadu atau unified geography yang tidak memisahkan geografi atas geografi fisis dan geografi sosial. Pada Kurikulum 1975, geografi masuk dalam pelajaran Ilmu Bumi di sekolah dasar (SD) diberikan sejak kelas 3 hingga kelas 6. Cakupan materi berjenjang mulai lingkup kecamatan dipelajari di kelas 3, kabupaten di kelas 4, lingkup propinsi di kelas 5, dan kelas 6 mempelajari materi dunia (panca benua). Di SLTP, diberikan secara integrasi dalam pengetahuan Negara-negara (regional). Di SLA geografi fisik dan antariksa menjadi IPBA masuk IPA. Geografi sosial ekonomi Indonesia dan geografi Regional Dunia masuk rumpun IPS. Pada Kurikulum 1984/1985, kedudukan mata pelajaran geografi di SD masuk rumpun IPS, SLTP geografi fisik dan antariksa menjadi IPBA, geografi sosial ekonomi Indonesia dan geografi Regional Dunia masuk rumpun IPS, begitu juga di SMA, kedudukan mata pelajaran geografi program inti.
Kurikulum1994 menggunakan pendekatan konsep esensial materi, pendekatan pembelajarannya CBSA dan keterampilan proses dengan sistem cawu dan pendekatan tujuan pembelajaran. Kritik/ kelemahan mata pelajaran geografi kurikulum 1994 adalah:
a. sarat materi, suplemen 1999 berisi pengurangan pokok bahasan.
b. materi kurang terfokus pada fenomena atau gejala permukaan bumi yang nyata terkait dengan wilayah dan kebutuhan hidup anak dalam masyarakat.
c. pendekatan pembelajaran serta materi belum sepenuhnya dipahami penulis buku, guru akibatnya materi lebih banyak berupa fakta, kurang dijumpai contoh kasus aktual dan pemecahan masalahnya. Termasuk buku geografi SD, SLTP, SMA tidak terlihat gradasinya.
Kurikulum 2004 dikenal dengan sebutan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) lebih menekankan pada aspek kompetensi siswa. Pada KBK, geografi mempunyai keleluasaan dalam pembelajaranya di SMA/MA karena pelajaran geografi diajarkan tidak hanya di kelas X dan pogram IPS kelas XI dan XII saja, tetapi juga diterapkan pada program IPA kelas XI. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), digulirkan pada pertengahan 2006 mengacu pada standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) merupakan acuan utama bagi satuan pendidikan dalam mengembangkan kurikulum.
Disarankan harus berlatar belakang dan memperhatikan enam faktor, yaitu: globalisasi, 2) melakukan upaya-upaya mendasar untuk menemukan kembali substansi dan wawasan kegeografian, 3) pengajar (dosen/ guru) dituntut mampu menjalankan peranya secara professional, 4) mengajar geografi dengan baik dan tidak menyimpang, 5) relevansi pembelajaran geografi terhadap dunia kerja, dan 6) aplikasi pembelajaran geografi dalam kehidupan di masyarakat termasuk membekali siswa pengetahuan menjaga kelestarian alam (Mukminan, 2005).
Pengembangan kurikulum dilihat dari subtansi menunjukkan kemajuan yang tinggi, namum masih terbatas pada geografi sebagai pengetahuan yang bersifat wajib karena menjadi mata pelajaran. Pembelajaran geografi hingga saat ini terasakan geografi masih terbatas pada “studi”, masih berpacu pada Cognitive Domain (Ranah Kognitif) tingkat rendah yaitu pada Pengetahuan (C1) dan Pemahaman (C2). Perilaku yang menekankan aspek intelektual sangat diperlukan terutama dalam percaturan global. Kondisi demikian sangat memprihatinkan karena hasil belajar geografi siswa Indonesia masih bersifat konseptual, belum mampu menghadirkan rasa cinta bertanah air dengan segala konsekuensinya (sense of belonging).
Urutan topik dan diajarkan di geografi telah disesuaikan oleh pengembang kurikulum berdasarkan tingkat kematangan siswa. Jenis pengajaran dan strategi belajar secara umum telah pula dirancang oleh Tim Pengembangnya, meskipun belum dibarengi oleh teknologi yang semestinya menyertainya. Misalnya di SMA ada materi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan Jauh yang perlu didukung oleh Laboratorium (hal ini di Indonesia dipandang terlalu berlebihan/ pemborosan). Disarankan strategi yang diterapkan (teacher-centered atau student-centered) harus tampak pengembangan konten materi yang bersifat holistik baik aspek sosial maupun aspek fisik dari sudut pandang keruangan.
Kajian Geografi menekankan pada fakta dan data dihubungkan dengan komponen-kompenen geosfera secara fungsional dan struktural sehingga membentuk suatu sistem geosfera. Pada mata pelajaran IPS, pembelajaran pendidikan lingkungan, konservasi dan mitigasi bencana dapat disisipkan pada kompetensi dasar: 1) pengetahuan mengenai dinamika masyarakat dalam menyikapi bencana; 2) ketrampilan menyelamatkan diri; 3) kepercayaan diri dan 4) kemampuan berekpresi. Pengkondisian tersebut berkaitan dengan geografi merupakan ilmu untuk menunjang kehidupan sepanjang hayat dan mendorong peningkatan kehidupan. Bidang kajian geografi meliputi bumi, aspek dan proses yang membentuknya, hubungan kausal dan spasial manusia dengan lingkungan, serta interaksi manusia dengan tempat. Sebagai suatu disiplin integratif, geografi memadukan dimensi alam fisik dengan dimensi manusia dalam menelaah keberadaan dan kehidupan manusia di lingkungannya.
Mata pelajaran Geografi membangun dan mengembangkan pemahaman peserta didik tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat dan lingkungan pada muka bumi. Peserta didik didorong untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di permukaan bumi. Selain itu peserta didik dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah (Depdiknas, 2006; Banowati, 2006).
Pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran Geografi diharapkan dapat membangun kemampuan peserta didik untuk bersikap, bertindak cerdas, arif, dan bertanggungjawab dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan ekologis. Pada tingkat pendidikan dasar Mata Pelajaran Geografi diberikan sebagai bagian integral dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Mata Pelajaran Geografi bertujuan agar peserta didik berkemampuan:
1. Memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan
2. Menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi
3. Menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat.
Kesemuanya dituangkan dalam ruang lingkup mata pelajaran Geografi meliputi aspek - aspek sebagai berikut.
a. Konsep dasar, pendekatan, dan prinsip dasar Geografi
b. Konsep dan karakteristik dasar serta dinamika unsur-unsur geosfer mencakup litosfer, pedosfer, atmosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer serta pola persebaran spasialnya
c. Jenis, karakteristik, potensi, persebaran spasial Sumber Daya Alam (SDA) dan pemanfaatannya
d. Karakteristik, unsur-unsur, kondisi (kualitas) dan variasi spasial lingkungan hidup, pemanfaatan dan pelestariannya
e. Kajian wilayah negara-negara maju dan sedang berkembang
f. Konsep wilayah dan pewilayahan, kriteria dan pemetaannya serta fungsi dan manfaatnya dalam analisis geografi
g. Pengetahuan dan keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh.

Membelajarkan Konservasi Lingkungan dan Mitigasi Bencana
Berdasarkan letak geografisnya, wilayah Indonesia di antara Benua Asia dan Benua Australia, serta di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indonesia berada pada posisi strategis, yang mempunyai arti penting dalam kaitannya dengan percaturan global. Letak setiap wilayah di permukaan bumi, merupakan tata geografis seluruh kondisi lingkungan yang dapat memberikan gambaran mengenai potensi yang dimilikinya, kemungkinan aktivitas yang dapat terjadi dan dapat dilakukan, serta prospek yang dapat dikembangkan untuk mencapai kemajuan-kemajuan di masa mendatang. Secara geologis Indonesia terletak pada pacific ring fire merupakan wilayah rawan bencana, karena banyaknya gunung berapi yang sewaktu-waktu bererupsi, gempa bumi bahkan tsunami. Kondisi ini diperlukan kemampuan penduduknya untuk mengelola agar tidak menjadi suatu bencana melalui pembudayaan dalam pendidikan (Leksono, 2008; Banowati 2010).
Kemampuan profesional guru geografi dalam pembelajaran dituangkan dalam rencana pembelajaran yang digunakan sebagai acuan mengajar, yakni kemampuan membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan melaksanakan rencana tersebut. Dalam menjalankan profesinya diharapkan semua guru geografi, mengetahui tujuan RPP tentu saja beserta isi RPP diantaranya tentang pemilihan metode, kemampuan menggunakan media pembelajaran, dan melaksanakan penilaian. Membelajarkan konservasi berkaitan dengan menjaga flora, fauna, penduduknya didalam memelihara lingkungan, serta mitigasi bencana. Berkaitan dengan hal itu pengetahuan tentang konservasi, flora, fauna yang terancam punah serta mitigasi bencana sudah saatnya dimasukkan dalam muatan kurikulum mulai tingkat SD, SMP dan SMA. Hendaknya disampaikan menarik yang melibatkan aspek kognitif, afektif, motorik, dan sosial (hubungan antar manusia) untuk membentuk pembelajaran yang bermakna. Hubungan itu dapat bersifat interelatif, interaktif, dan intergratif sesuai dengan konteksnya dalam mengelola lingkungan sebagai sumber daya (Banowati, 2006; 2010).
Mata pelajaran Geografi membangun dan mengembangkan pemahaman peserta didik tentang variasi dan organisasi spasial masyarakat, tempat dan lingkungan pada muka bumi. Peserta didik didorong untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di permukaan bumi. Selain itu peserta didik dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman mempengaruhi persepsi manusia tentang tempat dan wilayah. Pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dari mata pelajaran Geografi diharapkan dapat membangun kemampuan peserta didik untuk bersikap, bertindak cerdas, arif, dan bertanggungjawab dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan ekologis. Pada tingkat pendidikan dasar mata pelajaran Geografi diberikan sebagai bagian integral dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri. Upaya-upaya pelestarian harus dilakukan dalam wacana membangun kembali lingkungan yang rusak. Metode yang paling tepat adalah memasukkan substansi konservasi karena berpandangan berkelanjutan.

Pendidikan Geografi di Universitas Konservasi
Kerusakan lingkungan yang ditimbulkan manusia pada saat ini bertambah buruk dan menyebabkan masalah bagi manusia sendiri. UNNES sebagai perguruan tinggi yang mengusung konservasi berdasar keprihatinan dengan banyaknya kerusakan alam yang terjadi. Pendeklarasian sebagai Universitas Konservasi untuk menyelamatkan kondisi lingkungan alam yang semakin terpuruk. Program UNNES Konservasi di mulai dengan penanaman pohon di kampus dan sekitarnya termasuk pembangunan embung (danau kecil) sebagai cadangan air di musim kering. UNNES memiliki luasan areal 1.444.251 m2 berpotensi untuk di jadikan wilayah konservasi. Selain itu posisi geografisnya sangat mendukung untuk dijadikan wilayah konservasi yakni wilayah perbukitan sebagai fungsi hidrologis (recharge area). UNNES dikelilingi berbagai tipe habitat dan tutupan lahan (land cover) antara lain: hutan, kebun, sawah. Pada lingkungan alam ini telah diinventarisir dengan ditemukan 58 jenis flora dan fauna termasuk diantaranya 14 jenis yang dilindungi sesuai Peraturan Perundangan Indonesia (Unnes, 2010).
Kebutuhan pendidikan yang menekuni bidang geografi pada tingkat Universitas semakin diperlukan. Jurusan geografi menghasilkan ilmuwan, yang dapat bekerja pada berbagai instansi berkaitan dengan fenomena geosfer yang menjadi kompetensinya. Demikian pula universitas yang memiliki jurusan pendidikan geografi menghasilkan guru geografi yang handal dan mampu mengembangkan pembelajaran geografi di sekolah. Jurusan geografi sebagai lingkungan budaya sejak semula jadi, telah berkomitmen menanamkan pengetahuan tentang konservasi, lingkungan hidup dan mitigasi bencana melalui perbaikan kurikulum, sehingga setiap civitas academica tahu bahwa bencana alam dapat terjadi sewaktu-waktu dan bagaimana cara menyikapinya. Membelajarkan fenomena geosfer tercermin dalam materi (teori) dan praktikum yang dijalankan secara indoor maupun out door study .

Penutup
Pembelajaran lapangan atau kerja lapangan pada dasamya merupakan hal yang tak boleh ditinggalkan dalam geografi, karena disamping sangat membantu dalam mengembangkan kemampuan analisis, sintesis, interpretasi, mengamati korelasi dan menilai hubungan kausal, pelajaran di lapangan juga akan sangat berguna dalam hal menyamakan persepsi dan membakukan pengertian. Persepsi individu bersifat subjektif, dipengaruhi oleh derajat perhatian, diwarnai oleh pengalaman yang sudah ada dan dapat bersifat sangat khas.

Daftar Pustaka
Bintarto, R dan Surastopo H., 1991. Metoda, Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.
Banowati, Eva. 2006. Membangun Pembelajaran Bermakna. Makalah. Semarang: Seminar Internasional Hispisi.
_______. 2010. Kesiapan LPTK Dalam Menyonsong Pendidikan Profesi Guru (PPG) Untuk Menghasilkan Guru Profesional. Prosiding. Seminar Nasional, Revitalisasi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Untuk Menghasilkan Guru Profesional. Lampung: Lemlit Unila.
Banowati, Eva, dkk. 2010. Kesiapan Masyarakat Sekitar Dalam Mewujudkan Unnes Konservasi. Laporan Penelitian. Semarang: LP2M UNNES.
Bradford, M.G., and Kent, W.A., 1982. Human Geography. Great Britain: Oxford University Press.
Castre, N.,R., Alisdair, dan S., Douglas. 2005. Questioning Geography Fundamental Debates. UK, USA, Australia: Blackwell
Depdiknas. 2006. Petunjuk Teknis Pengembangan Silabus. Jakarta: BSNP
Gregory, 1981. Man and Environmental Processes. Boston: Mackays of Chathan.
Grenier, L. 1970. Working With Indigenous Kwoledge: A Guide For Research. International Development Research Center. Canada, Otawa
Haggett, P., 1983. Geography: A Modern Synthesis, Revised Third Edition. New York: Harper & Row, Publisher.
Hamalik, Oemar. 2005. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara
Hartshorne, R., 1964. The Nature of Geography, The Association of American Geography. Lancaster.
Leksono, Suroso Mukti, 2008. Pengembangan Kurikulum Pembelajaran Konservasi, Lingkungan Hidup dan Mitigasi Bencana Alam (Sebagai Upaya Pencegahan Kerusakan Lingkungan Hidup dan Mengatasi Bencana Secara Global). Laporan Penelitian. Serang: FKIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Mukminan. 2005. Metode Pembelajaran Geograf. Makalah, Workshop Menuju Pembelajaran Geografi Di Era Global, Dalam Rangka Dies Natalis Ke-42 Fakultas Geografi UGM Yogyakarata.
Natawidjaja, Rachman, dkk. 2007. Rujukan Filsafat, Teori dan Praksis Ilmu Pendidikan. Bandung: UPI Press.
Suharyono dan Amien, Moch. 1994. Pengantar Filsafat Geografi. Jakarta: PMTK.

Peran Penelitian Geografis dalam Pembangunan Berwawasan Konservasi dan Pengurangan Risiko Bencana

Junun Sartohadi
Kepala Pusat Studi Bencana Universitas Gadjah Mada
Guru Besar Geografi Tanah di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
(Disampaikan dalam Seminar Nasional Kontribusi Geografi dalam Konservasi Lingkungan dan Mitigasi Bencana. HIMA Geografi)

Intisari
Penulisan makalah berjudul “Peran Penelitian Geografis dalam Pembangunan Berwawasan Konservasi dan Pengurangan Risiko Bencana” bertujuan untuk: (1) memberikan pemahaman mengenai cakupan penelitian geografis, (2) memberikan pengertian penelitian geografis yang berbasis pada pemahaman konservasi, (3) memberikan pengertian penelitian geografis yang berbasis pada pengurangan risiko bencana. Trend penelitian geografis terkini beserta terapanan di dalam pembangunan wilayah di Indonesia khususnya juga diuraikan secara singkat di dalam makalah.
Makalah disusun berdasarkan telaah pustaka dan penelitian terdahulu. Penelitian terdahulu yang dijadikan acuan untuk penulisan makalah ini khususnya bersumber dari penelitian-penelitian yang dilakukan oleh penulis dan institusi tempat penulis bekerja yang dilengkapi dengan telaah atas penelitian-penelitian yang dilakukan oleh peneliti lain di dalam maupun di luar negeri. Metode penyajian makalah secara deskriptif untuk menggambarkan secara singkat dan padat atas pokok-pokok pikiran yang diajukan di dalam makalah.

Concluding remarks merupakan kesimpulan yang bersifat umum disampaikan dalam makalah ini. Penyampaikan concluding remarks berisi pernyataan singkat yang mengarisbawahi besarnya peran penelitian geografis di dalam pembangunan, khususnya pembangunan wilayah di Indonesia yang berbasis pada pengurangan risiko bencana. Pendahuluan
Setiap bagian wilayah di permukaan bumi mempunyai karakteristik fisik, sosial, dan budaya yang khas. Karakterisik wilayah secara fisik mencakup karakteristik morfologi permukaan lahan (relief), batuan dan struktur batuan serta stratigrafi batuan, iklim, hidrologi, tanah, dan penutupan lahan. Karakteristik fisik suatu wilayah berubah-ubah dari waktu ke waktu seiring dengan dinamika iklim. Dinamika fisik wilayah yang dipengaruhi oleh iklim disebut dengan istilah morfodinamik. Karakteristik sosial dan budaya berkaitan dengan semua hal yang berhubungan dengan masyarakat yang menempati wilayah. Dinamika sosial budaya masyarakat yang menempati suatu wilayah akan mempengaruhi dinamika fisik wilayah dalam berbagai bentuk pemanfaatan lahan (Garcia and Batalla, 2005; Sartohadi and Giyanto, 2007).
Pembangunan wilayah harus mendasarkan pada karakteristik fisik, sosial dan budaya setempat. Pembangunan wilayah mencakup semua aktivitas memanfaatkan potensi/sumberdaya fisik wilayah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di suatu wilayah tertentu. Pemanfaatan sumberdaya fisik wilayah tidak dapat lepas dari kondisi sosial budaya masyarakat. Kondisi sosial dan budaya masyarakat yang ada pada suatu wilayah tertentu adalah hasil dari interaksi yang panjang dengan kondisi fisik wilayah. Tingkat penguasaan modal dan teknologi serta adat istiadat yang ada pada masyarakat sangat menentukan bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya fisik wilayah (Aitken and Valentine, 2006; Lavigne et al., 2008).
Pembangunan wilayah dimulai dengan pembangunan sumberdaya manusia yang berbasis pada kondisi sosial dan budaya yang ada pada masyarakat. Pembangunan sumberdaya manusia tanpa berbasis pada kondisi sosial dan budaya masyarakat akan menghasilkan manusia yang kurang dapat diterima di lingkungan budaya tempat asal. Adanya sumberdaya manusia yang memiliki modal dan menguasai teknologi namun kurang memahami kondisi sosial budaya masyarakat akan cenderung mengambil keputusan pemanfaatan sumberdaya fisik yang kurang sesuai. Pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya fisik yang kurang sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat akan berakibat pada pemanfaatan sumberdaya fisik yang tidak efisien dan rusaknya kondisi sosial budaya masyarakat (Goodchild, 2007).
Karakteristik fisik, sosial, dan budaya suatu wilayah saling berinteraksi satu sama lain menghasilkan proses-proses yang menentukan dinamika wilayah. Iklim hujan tropika akan menyebabkan proses pelapukan batuan yang relatif cepat dibandingkan dengan proses pelapukan batuan di wilayah iklim yang lain. Proses pelapukan batuan yang relatif cepat menghasilkan tanah yang tebal di wilayah iklim hujan tropika akan diimbangi oleh laju erosi dan lain-lain proses pengelupan permukaan bumi dan pengendapan yang releif cepat. Pada sisi yang lain kondisi iklim hujan tropika akan memberikan lingkungan yang nyaman untuk kehidupan makhluk hidup termasuk manusia dan berbagai macam flora dan biota. Masyarakat yang tinggal di wilayah hujan tropika akan mempunyai sistem kekerabatan dan budaya yang khas guna saling bahu membahu menghadapi ancaman lingkungan di sekitarnya dan sekaligus memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia (Aitken and Valentine, 2006). Perkembangan masyarakat akan selalu diikuti dengan peningkatan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Peningkatan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akan berpengaruh pada dinamika fisik wilayah. Perubahan kondisi penutupan lahan akan diikuti dengan peningkatan laju erosi dan lain-lain proses pengelupan permukaan bumi dan pengendapan. Peningkatan laju erosi akan terus berakibat pada perubahan intensitas proses-proses fisik yang lain dan sampai pada ujungnya akan mempengaruhi kondisi iklim (Salerno et al, 2011).
Pemahaman mengenai dinamika wilayah yang kurang komprehensif akan mengakibatkan pada pengambilan keputusan pembangunan wilayah yang kurang sesuai. Dinamika wilayah mencakup dinamika fisik dan sosial budaya masyarakat yang tinggal pada suatu wilayah. Pemahaman mengenai dinamika fisik saja tidak cukup untuk melakukan pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan pembangunan wilayah. Kondisi yang sebaliknya adalah pemahaman dinamika sosial budaya masyarakat saja juga masih kurang untuk dapat mengambil keputusan terkait kebijakan pembangunan wilayah. Pemahaman yang komprehensif mengenai dinamika fisik dan sosial budaya diperlukan dalam pengambilan keputusan yang tepat terkait dengan kebijakan pembangunan wilayah. Pelaksanaan pembangunan berbasis pada kebijakan pembangunan yang kurang tepat pada suatu wilayah akan cenderung menimbulkan degradsi lingkungan.
Degradasi lingkungan dan peningkatan risiko bencana merupakan akibat yang timbul dari pengambilan keputusan pembangunan wilayah yang kurang sesuai pada suatu wilayah (Coppola, 2007). Peningkatan laju erosi pada wilayah hulu sungai dan laju sedimentasi pada wilayah muara sungai adalah bentuk degradasi lingkungan fisik yang relatif paling lama dicatat dan diteliti telah terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Pengenalan dan pemaksaan pemanfaatan lahan untuk komoditas tertentu yang bukan berasal dari Indonesia dan bukan merupakan budaya masyarakat lokal disertai dengan praktek konservasi yang kurang sesuai diduga telah menimbulkan permasalahan erosi dan sedimentasi (Blanco and Lal, 2008). Akibat lanjut dari permasalahan erosi adalah kemiskinan masyarakat baik di kawasan hulu sungai maupun di kawasan muara sungai. Salah satu permasalahan ikutan dari kemiskinan adalah ketidak mapuan masyarakat beradaptasi dengan perubahan dinamika fisik wilayah. Perubahan dinamika fisik wilayah yang dramatik akan cenderung mengakibatkan timbulnya berbagai bentuk kejadian bencana yang tidak mampu diadaptasi oleh masyarakat yang menderita kemiskinan (Huddart and Stott, 2010).

Cakupan Penelitian Geografis
Geografi adalah ilmu yang mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dan lingkungan tempat tinggalnya. Cakupan lingkungan tempat tinggal manusia yang menjadi obyek penelitian dalam ilmu geografi adalah lingkungan fisik dan lingkungan non fisik. Cakupan lingkungan non fisik adalah masyarakat yang ada menempati suatu wilayah tertentu. Struktur sosial dan budaya masyarkat menjadi obyek penelitian yang menarik sejak awal perkembangan ilmu geografi. Pada perkembangan selanjutnya struktur permukiman dan struktur-struktur lain hasil budidaya masyarakat telah pula mejadi penelitian yang menarik bagi ilmuan geografi. Penelitian mengenai lingkungan fisik mencakup penelitian tentang iklim, morfologi permukaan bumi, material penyusun yang mempengaruhi bentuk permukaan bumi, air permukaan dan air bawah permukaan, tanah, dan penutup lahan baik yang alami maupun budidaya manusia (Gomez and Jones III, 2010).
Karakteristik ilmu geografi adalah terletak pada cara pandang terhadap obyek penelitian geografis dan bukan sepenuhnya pada obyek penelitian itu sendiri. Obyek material dalam ilmu geografi juga dipelajari oleh ahli dari berbagai disiplin ilmu non geografi. Para ilmuan non geografi mengkaji obyek-obyek penelitian geografis secara parsial dan pada umumnya merupakan penelitian yang mendalam khusus mengenai obyek yang dikaji. Keterikatan obyek penelitian geografis dengan lokasi keterdapatannya menjadi ciri utama penelitian geografis selain juga persebaran keberadaan objek penelitian di dalam ruang di permukaan bumi. Penelitian geografis juga dicirikan dengan perkembangan dari waktu ke waktu atas sistem yang berlaku pada obyek yang dikaji (Chapman, 1979; Gomez and Jones III, 2010).
Kelemahan yang ada pada ilmu geografi adalah penelitian obyek geografi secara parsial lebih menonjol dibandingkan dengan penelitian secara integral antara penelitian fisik dan sosial budaya masyarakat. Ilmuwan geografi lebih didominasi oleh ahli Geografi Tanah, Geografi Perkotaan, Geografi Penduduk, Geomorfologi, Hidrologi dan masih banyak yang lain dibandingkan dengan ahli Geografi. Dominasi penelitian geografis secara parsial terjadi sebagai akibat dari banyaknya ilmuwan geografi yang menimba ilmu dari ilmuwan lain yang mempunyai obyek penelitian yang sama. Hal yang sebaliknya adalah ilmuwan lain yang mempunyai obyek penelitian yang sama belajar dari ilmuwan geografis masih terbatas jumlahnya. Tantangan bagi ilmuwan geografi adalah peningkatan jumlah penerapan ilmu geografi untuk penyelesaian permasalahan pembangunan yang saat ini timbul sebagai akibat pengambilan kebijakan pembangunan wilayah yang kurang tepat.
Pemahaman yang hanya berbasis pada dinamika fisik wilayah telah menimbulkan kerancuan dalam pemahaman secara utuh terhadap munculnya berbagai gejala perubahan lingkungan. Peningkatan laju erosi dan sedimentasi telah mendapatkan perhatian yang berlebihan pada era tahun 70an. Berbagai usaha pengendalian erosi telah menyita banyak modal baik di tingkat lokal hingga global. Penerapan paham konservasi yang didasari pada pemahaman dinamika fisik wilayah telah menimbulkan ancaman bahaya longsor yang mulai dirasakan pada dekade setelah tahun 70an. Praktek konservasi tanah secara fisik telah diikuti dengan dinamika sosial budaya yang dilatarbelakangi peningkatan kebutuhan ekonomi sehingga menimbulkan bentuk pemanfaatan lahan untuk usaha produksi di daerah hulu yang berrelief terjal. Longsor di daerah hulu dan banjir bandang di daerah hilir menjadi sering terjadi pada saat ini (Sartohadi, 2005a; Sartohadi, 2007; Marfai et al., 2008).
Konservasi tanah telah dipahami secara sempit sebagai usaha atau praktek pengendalian secara fisik, vegetatif, dan kimiawi. Pengolahan tanah yang dilengkapi dengan berbagai macam bentuk konservasi telah dianggap sebagai usaha yang handal di dalam pengendalian kerusakan sumberdaya tanah dan air. Pemahaman yang lebih jauh bahwa usaha konservasi semestinya lebih ditekankan pada rekayasa sosial budaya atas masyarakat yang tinggal di daerah rawan erosi telah terlambat dilakukan. Masyarakat yang tinggal di daerah hulu semestinya mempunyai sikap dan perilaku pemanfaatan lahan yang berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah hilir. Penyamarataan sikap dan perilaku pemanfaatan lahan oleh masyarakat di seluruh bagian wilayah daerah aliran sungai telah menimbulkan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam yang ada (Sartohadi, 2005b). Contoh kasus pemanfaatan sumberdaya air yang berlebihan pada hulu sungai-sungai di Provinsi Jawa Tengah yang bermuara di Laut Jawa telah menyebabkan intrusi air laut melalui tubuh sungai di daerah muara. Pemanfaatan sumberdaya air permukaan untuk irigasi di daerah hulu telah menyebabkan menurunnya debit air sungai dibawah ambang batas minimum khususnya pada saat musim kemarau. Penurunan debit air di muara sungai hingga di bawah ambang batas minimum menyebabkan aliran air tawar tidak dapat membendung masuknya air laut ke arah daratan. Hal yang menyebabkan intrusi lebih parah terjadi adalah pemanfaatan sumberdaya air tanah di sekitar muara sungai yang umumnya berupa delta. Sungai efluent berubah menjadi sungai influent. Air sungai di daerah muara yang berisi air laut pada akhirnya masuk ke dalam sistem aquifer air tanah di wilayah muara sungai (Sartohadi, 2007; Sartohadi, Mardiatno, and Marfai, 2009).
Gejala pemanasan global (global warming) adalah contoh dinamika fisik wilayah yang telah dipahami dengan kurang tepat. Gejala pemanasan global timbul sebagai akibat dari peningkatan aktifitas manusia dalam berbagai bentuk. Berbagai bentuk peningkatan aktivitas manusia tentu membutuhkan energi yang sebagian besar dipenuhi dengan cara pemanfaatan energi fosil yang menghasilkan CO2. Peningkatan kadar CO2 di atmosfir diduga kuat sebagai penyebab timbulnya gejala pemanasan global. Pada akhirnya pemanasan global menimbulkan kenaikan muka air laut dan akibat-akibat ikutan lain seperti kacaunya kondisi cuaca (Potter and Colman , 2003). Hujan lebat pada saat musim kemarau menjadi sering terjadi, demikian juga hujan ekstrim tinggi menjadi sering terjadi pada saat musim hujan. Gagal panen komoditas pertanian yang mestinya memberikan hasil maksimum ketika diusahakan pada musim kemarau sering terjadi. Kondisi sebaliknya adalah gagal panen pada saat musim hujan juga sering terjadi akibat lahan tergenang air. Usaha-usaha penanggulangan dampak pemanasan global melalui rekayasa sosial juga telah terlambat dikaji dan diterapkan oleh para ilmuwan khususnya ilmuwan geografi. Ilmuwan geografi di Indonesia bahkan telah lebih terkonsentrasi pada pemahaman proses terjadinya pemanasan global.
Perkembangan dinamika penelitian sosial budaya masyarakat yang dikaitkan dengan lokasi keterdapatannya di suatu wilayah tertentu telah melahirkan penelitian Geografi Politik atau Geopolitik. Kepentingan-kepentingan tertentu seringkali muncul dari masyarakat dengan latar belakang sosial budaya tertentu yang mendiami suatu wilayah tertentu (Diehl, 2003). Kepentingan yang muncul dari masyarakat dengan latar belakang sosial dan budaya tertentu tidak dapat lepas dari keterdapatan sumberdaya alam di wilayah tempat tinggalnya dan atau ketertarikan akan sumberdaya alam di wilayah sekitarnya. Penelitian Geopolitik merupakan penelitian yang mungkin telah muncul sejak lama, namun hingga saat ini belum mendapat perhatian semestinya dari para ahli geografi di Indonesia. Pemekaran wilayah propinsi dan kabupaten di Indonesia yang marak mulai tahun 2000an adalah merupakan penelitian geopolitik yang menarik yang berasal dari dalam negeri Indonesia. Kejadian atau peristiwa kekisruhan politik di Timur Tengah, Afrika, Eropa, Amerika Latin, dan masih banyak lagi di wilayah lain (Dierwechter, 2008) adalah mememerlukan telaah dan ulur tangan dari para ahli geografi.
Cakupan penelitian geografis berspektrum luas. Penelitian yang berbasis pada obyek fisik, sosial budaya hingga politis dapat tercakup dalam penelitian geografis. Penelitian murni mengenai berbagai dinamika wilayah hingga penelitian praktis yang langsung dapat diterapkan pada kehidupan dapat pula tercakup dalam penelitian geografis. Luasnya cakupan penelitian geografis telah menjadi kekuatan dan kelemahan bagi geograf. Geograf dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada pembuat keputusan kebijakan terkait dengan pembangunan wilayah secara komprehensif atas berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan. Pada sisi lain geograf dipandang tidak mempunyai pengetahuan yang mendalam atas satu pokok masalah yang menjadi sedang menjadi perhatian utama pembuat keputusan kebijakan. Penelitian geografis, apapun temanya, dapat dijadikan payung bagi penelitian-penelitian mengenai suatu obyek tertentu secara mendalam yang dikerjakan oleh individu yang berbeda. Penelitian individual yang bersifat parsial mengenai suatu obyek geografis tertentu dapat disatukan dan disimpulkan bersama menjadi sebuah rekomendasi pemecahan masalah secara komprehensif.

Tren (Trend) Penelitian Geografis Saat Ini
Ada beberapa kata kunci agar penelitian geografis mampu dijual di pasar dan mendapatkan sumber pendanaan dari berbagai donor baik di tingkat nasional maupun internasional, yaitu: pembangunan berkelanjutan, perubahan global, dan kota super besar (mega city). Penelitian geografis berbasis pada pemahaman konservasi dan pengurangan risiko bencana termasuk ke dalam kelompok pembangunan berkelanjutan. Penelitian geografis mengenai perubahan global antara lain mencakup dinamika pemanasan global, adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim global, perubahan sosial budaya masyarakat dalam menghadapi dinamika sosial budaya global. Berbagai penelitian geografis baik fisik maupun non fisik yang terjadi sebagai akibat dari pertumbuhan kota menjadi kota besar dan atau kota super besar merupakan penelitian lain yang menjadi perhatian global. Para pengambil keputusan di tingkat lokal, nasional, dan internasional memerlukan dengan segera informasi mengenai penelitian-penelitian terkait dengan pembangunan berkelanjutan, perubahan global, dan kota super besar.
Penelitian-penelitian konservasi sumberdaya alam khususnya sumberdaya tanah dan air saat ini telah mengalami penurunan dalam hal perhatian dan minat dari para peneliti di tingkat nasional maupun internasional. Pemahaman mengenai konservasi yang telah dikuasai oleh para peneliti tetap mewarnai latar belakang penelitian-penelitian terkini. Penelitian mengenai kemampuan penyerapan karbon pada suatu wilayah dengan mengandalkan kelestarian vegetasi hutan adalah bentuk lain penelitian konservasi sumberdaya tanah dan air yang diungkapkan melalui cara yang berbeda. Penelitian mengenai usaha-usaha peningkatan ketahanan pangan baik lokal, nasional, maupun global tidak dapat lepas dari konservasi sumberdaya tanah dan air adalah salah satu contoh lain penelitian mengenai konservasi sumberdaya alam yang dikemas dalam bentuk yang berbeda. Penelitian berbasis pada pemahaman konservasi tidak hanya mencakup penelitian konservasi sumberdaya alam, namun juga penelitian konservasi sumberdaya sosial dan budaya masyarakat. Keterdapatan kearifan lokal, sistem sosial dan budaya masyarakat yang telah berlangsung secara turun temurun semestinya tidak dengan serta merta diubah menjadi sistem sosial dan budaya masyarakat yang baru. Penguatan sistem sosial, budaya, dan kearifan lokal dalam kaitannya untuk menghadapi perubahan global telah menjadi tren penelitian saat ini yang menarik perhatian ilmuwan sosial budaya, termasuk ilmuwan geografi manusia.
Secara nasional tren penelitian geografis lebih terfokus pada penelitian kebencanaan. Penelitian kebencanaan mencakup bencana alam dan bencana non alam. Bencana akibat perilaku manusia terkait dengan penerapan teknologi tertentu dan konflik antar masyarakat termasuk di dalam kategori bencana non alam. Penelitian mengenai bencana alam banyak dilakukan oleh ahli-ahli ilmu kebumian termasuk di dalamnya adalah ahli ilmu geografi fisik (Sartohadi, 2011). Penelitian mengenai bencana non alam banyak dilakukan oleh ahli-ahli ilmu kedokteran dan kesehatan serta ilmu sosial humaniora. Peran ahli ilmu geografi manusia sangat diharapkan di dalam penelitian-penelitian kebencanaan non alam. Penelitian kebencanaan yang mencakup bencana alam dan non alam, hubungan antar bencana alam dan non alam, serta keterkaitan antar bencana baik alam maupun non alam dengan lokasi keterdapatannya beserta persebarannya di permukaan bumi semestinya hanya dikuasai oleh ahli geografi. Cakupan ilmu geografi mengenai obyek penelitian fisik dan non fisik, hubungan timbal balik antar obyek fisik dan non fisik, serta keterkaitan antar obyek baik fisik dan non fisik dengan lokasi keterdapatannya beserta persebarannya di permukaan bumi merupakan modal dasar yang tepat untuk melakukan penelitian kebencanaan.
Penyusunan rencana tata ruang dengan keharusan memasukan analisis pengurangan risiko bencana merupakan tren penelitian geografis yang lain yang bersifat aplikatif untuk pembangunan. Penyusunan rencana tata ruang merupakan dasar utama di dalam pelaksanaan pembangunan wilayah (Ekawati, Sartohadi and Rossiter, 2010; Hizbaron et al, 2010). Apapun bentuk dari kegiatan pembangunan selalu saja menempati wilayah tertentu. Ketidak sesuaian penempatan aktivitas pembangunan pada suatu wilayah akan berakibat pada peningkatan risiko bencana. Hasil-hasil pembangunan yang telah menelan biaya dan tenaga tidak akan ada artinya jika kelak di kemudian hari terkena bencana. Aktivitas pembangunan wilayah harus dimulai dari awal kembali. Proses pengintegrasian kajian-kajian kebencanaan ke dalam proses penyusunan tata ruang memerlukan penelitian panjang. Karakteristik fisik dan sosial budaya masyarakat yang khas pada setiap bagian wilayah Indonesia membutuhkan penelitian geografis yang panjang. Penyamarataan proses penyusunan tata ruang dengan tanpa meninggalkan analisis pengurangan risiko bencana untuk seluruh wilayah Indonesia berpotensi besar meningkatkan risiko bencana itu sendiri. Contoh nyata adalah proses relokasi penduduk yang terkena bencana alam tak mungkin terkelola (intangible natural disasters) ke lokasi lain yang lebih aman tidak dapat dilakukan dengan metode yang sama untuk wilayah-wilayah yang berbeda di Indonesia karena perbedaan karakteristik sosial budaya masyarakat.
Penelitian-penelitian geografis yang saat ini menjadi tren bukan hanya terkait dengan obyek kajiannya yang saat ini menjadi perhatian berbagai pihak seperti kebencanaan dan perubahan global, namun juga terkait dengan aspek pemanfaatan teknologi pemetaan. Sebagian besar obyek kajian penelitian geografis pada akhirnya disajikan dalam bentuk peta baik dalam bentuk hard copy maupun soft copy (NRC, 2007). Pemanfaatan teknologi pemetaan yang saat ini banyak mendapat perhatian para peneliti untuk identifikasi, pemantauan, dan evaluasi kondisi lingkungan adalah global positioning systems (GPS), penginderaan jauh (RS) dan sistem informasi geografis (GIS). Perkembangan teknologi pemetaan yang terkait dengan teknologi GPS, RS dan GIS sangat terkait dengan perkembangan ilmu komputer dan sistem informasi. Peran ahli geografi lebih banyak terfokus pada pemanfaatannya untuk identifikasi, pemantauan, dan evaluasi kondisi lingkungan yang sangat dibutuhkan oleh ahli komputer dan sistem informasi guna pengembangan lebih lanjut atas teknologi GPS, RS dan GIS yang telah ada saat ini. Pemanfaatan teknologi GPS, RS, dan GIS untuk identifikasi, pemantauan, dan evaluasi kondisi lingkungan tidak dapat dilakukan oleh ahli yang tidak memahami sistem lingkungan secara utuh (Haining, 2003; Sartohadi, Samodra and Hadmoko, 2010). Sistem lingkungan hidup secara utuh yang mencakup sistem fisik dan non fisik lingkungan dipelajari di dalam ilmu geografi.

Concluding Remarks
Penelitian geografis mencakup penelitian mengenai obyek-obyek yang merupakan seluruh komponen dari geosfera, yaitu atmosfer, lithosfer, pedosfer, hidrosfer, biosfer dan antroposfer melalui analisis keruangan, kewilayahan, dan kelingkungan. Perkembangan dari waktu ke waktu atas komponen-kompenen geosfera dan hubungan timbal balik antar komponen geosfera serta persebarannya di permukaan bumi menjadi ciri penelitian geografi.
Pemahaman dinamika wilayah secara komprehensif dapat dilakukan oleh ahli geografi. Dinamika wilayah yang ditentukan oleh dinamika fisik dan sosial budaya masyarakat perlu dipahami secara mendalam untuk dapat menyusun kebijakan pengembangan wilayah yang tepat. Pengambilan kebijakan pengembangan wilayah yang kurang sesuai dengan dinamika wilayah akan meningkatkan risiko bencana.
Penelitian geografis adalah penelitian yang cakupannya sangat luas. Hampir tidak mungkin penelitian geografis yang utuh dapat dikerjakan oleh satu orang ahli geografi atau sekelompok kecil ahli geografi. Penelitian geografis yang utuh hanya dapat dilakukan oleh sekelompok besar ahli geografi, untuk itu institusi pendidikan geografi di Indonesia perlu menyusun penelitian besar yang dapat menjadi payung bagi penelitian geografis yang bersifat parsial. Wujud nyata dari penelitian geografis yang utuh berpotensi besar untuk mewujudkan pembangunan nasional yang berwawasan konservasi dan pengurangan risiko bencana.

Pustaka Acuan
Aitken, S., and G. Valentine, 2006. Approaches to Human Geography. SAGE Publications, London
Blanco, H., and R. Lal, 2008. Principles of Soil Conservation and Management. Springer Science & Business Media B.V
Chapman, K., 1979. People, Pattern, and Process: An Introduction to Human Geography. Pearson Prentice Hall Publ.
Coppola, D. P. 2007. Introduction to international disaster management. Amsterdam ; Boston, Butterworth Heinemann.
Diehl, P.F., 2003. Regional Conflict Management. Rowman & Littlefield Publishers, Inc.
Dierwechter, Y., 2008. Urban Growth Management and Its Discontents: Promises, Practices, and Geopolitics in U.S. City-Regions. Palgrave Macmillan
Ekawati, S.R., J. Sartohadi, and D.G. Rossiter, 2010. Integrating Geo-Hazard Information into Land Capability Assessment for Spatial Planing: A Case Study in Tawangmangu Sub-District, Karanganyar Regency, Central Java Province. A paper presented in the ICSBE 26-29 May 2010, Indonesian Islamic University of Yogyakarta
Garcia, C., and R.J. Batalla, 2005. Catchment Dynamics and River Processes: Mediterranean and Other Climate Regions. Elsivier.
Gomez, B., and J.P. Jones III, 2010. Research Methods in Geography: A Critical Introduction. John Wiley & Sons, Ltd., Publ.
Goodchild, M.F. 2007. Citizens as sensors: The world of volunteered geography, Journal of Geography 69 (4) (2007), pp. 211–221
Haining, R. P. 2003. Spatial data analysis : theory and practice. Cambridge, UK ; New York, Cambridge University Press
Hizbaron, D.R., M. Baiquni, J. Sartohadi, and Rijanta, 2010. Integration Method of Disaster Risk Reduction into Spatial Plan. Proceeding paper in A paper presented in the ICSBE 26-29 May 2010, Indonesian Islamic University of Yogyakarta
Huddart, D and T. Stott, 2010. Earth Environments: Past, Present and Future. John Wiley & Sons, Ltd
Lavigne, F., B. De Coster, N. Juvin, F. Flohic, J-C. Gaillard, P. Texier, J. Morin, and J. Sartohadi, 2008. People's behaviour in the face of volcanic hazards: Perspectives from Javanese communities, Indonesia. Journal of Volcanology and Geothermal Research 172 (2008) 273–287
Marfai, M.A., L. King, L.P. Singh, D. Mardiato, J. Sartohadi, D.S. Hadmoko and A. Dewi, 2008. Natural Hazards in Central Java Province, Indonesia: an overview. Environmental Geology, Volume 56 (2008), Issue 2, pp.335-351
NRC. 2007. Successful Response Starts with a Map: Improving Geospatial Support for Disaster Management. Retrieved July 5 2010, from http://www.nap.edu/catalog.php?record_id=11793
Potter, T.D., and B.R. Colman , 2003. Handbook of Weather, Climate, and Water: Dynamics, Climate, Physical Meteorology, Weather Systems, and Measurements. John Wiley & Sons, Ltd.
Salerno, J., S.J. Yang, D. Nau, and S. Chai, 2011. Social Computing Behavioral-Cultural Modeling and Prediction. Proceedings of the 4th International Conference on Social Computing, Behavioral-Cultural Modeling and Prediction, held in College Park, MD, USA, March 29-31, 2011. ISBN 9783642196553
Sartohadi, J., 2011. Soil Geomorphological Approach For Natural Hazard Mapping. Presented paper on Global Soil Mapping Workshop in Bogor-Indonesia. February 2011.
Sartohadi, J., G. Samodra, and D.S. Hadmoko, 2010. GIS Application for Geomorphological Study on the Assessment of Landslide Susceptibility Using Heuristic-Statistic Method: A Case Study In Kayangan Catchment Kulon Progo, Yogyakarta-Indonesia. International Journal of Geoinformatics ISSN 1686-6576, Vol. 6 No. 3 September 2010
Sartohadi, J., D. Mardiatno, and M.A. Marfai, 2009. Coastal Zone Management Due to Abrasion along the Coastal Area of Tegal, Central Java Indonesia. Proceeding of the International Conference on Coastal Environment and Management – for The Future Human Lives in Coastal Regions- 23rd – 24th February 2009, Shima, Southern Mie Prefecture, Central Japan
Sartohadi, J., and R.C.S. Giyanto, 2007. The Changes of Coastline During the Period 1934 to 2006 in Kulonprogo District, Yogyakarta, Indonesia. A paper for oral presentation in the International Conference on Natural Disaster Mitigation in the Coastal Regions of Tropical Asia. Pattaya- Thailand 3rd November 2007
Sartohadi, J., 2007. Terapan Geomorfologi dalam Pengelolaan Sumberdaya Air. Journal Alami Vol 12 Nr. 1 Tahun 2007. ISSN: 0853-8514
Sartohadi J., 2005a. Pemanfaatan Informasi Bahaya Longsor untuk Penilaian Kemampuan Lahan di Sub DAS Maetan, DAS Luk Ula, Jawa Tengah. Majalah Geografi Indonesia vol 19-1, 2005
Sartohadi, J., 2005b. Model of Settlement Management in Natural Disaster Prone Areas: A Case Study in Eastern Indonesia with special emphasis in Bali, NTB, and NTT Provinces. Poster International Seminar in Urban Management, Yogyakarta, September 2005.

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design