Senin, 22 November 2010 | 17:34 WIB
KRISTIANTO PURNOMO/KOMPAS IMAGES
Ilustrasi: Perilaku pengelola sekolah, guru, maupun pemerintahan daerah hanya terpaku pada angka kelulusan. Hal itu dikhawatirkan akan menggeser paradigma pendidikan yang seharusnya menekankan pada aspek proses menjadi hanya kepada aspek hasil.BOGOR, KOMPAS.com - Ujian Nasional (UN) sudah menjadi komoditas politik. Pasalnya, Pemerintah Daerah kini berlomba-lomba meningkatkan angka kelulusan UN agar dianggap berhasil dan dijadikan alat kampanye pilkada berikutnya.
Padahal, kajian yang dilakukan oleh panitia Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2010, menunjukkan bahwa nilai UN tidak mencerminkan kesiapan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau bekerja.
"UN sekarang sudah menjadi komoditas politik, hanya mengejar jumlah siswa lulus. Bahkan, kepala daerah, sekolah, dan guru menjadikan UN sebagai prestasi keberhasilan kepemimpinannya," kata Rohmani, anggota Komisi X DPR RI dalam siaran pers yang dikirimnya lewat surat elektronik, Senin (22/11/2010).
Menurut Rohmani, karena sudah menjadi komoditas politik itu yang menyebabkan setiap tahunnya tetap terjadi praktik kecurangan terhadap UN, seperti pembocoran soal ujian dan guru memberi kunci jawaban kepada muridnya. Di sisi lain, tidak sedikit pemerintah daerah membiarkan kecurangan tersebut.
"Demi mengejar angka kelulusan yang tinggi, pemerintah daerah melakukan apa saja agar dapat mewujudkannya," ujar Rohmani.
Ia menyatakan kekhawatirannya atas prilaku pengelola sekolah, guru, maupun pemerintahan daerah yang hanya terpaku pada angka kelulusan. Sebab, prilaku tersebut akan menggeser paradigma pendidikan yang seharusnya menekankan pada aspek proses menjadi hanya kepada aspek hasil.
Model UN yang dilakukan oleh pemerintah selama ini sangat tidak sesuai tujuan, bahkan telah keluar dari paradigma pendidikan bangsa yaitu membentuk insan yang cerdas dan bertaqwa. UN seharusnya tidak boleh menjadi veto bagi pemerintah untuk menentukan kelulusan siswa, karena hal itu dinilai mengabaikan proses pembelajaran dan keragaman potensi siswa.
Rohmani juga mengaku heran dengan sikap pemerintah yang terus memaksakan UN. Padahal, DPR telah meminta pemerintah untuk merubah model UN agar tidak menjadi penentu kelulusan.
"Kami di komisi X DPR RI telah berkali-kali meminta pemerintah untuk merubah model UN yang sekarang, tetapi entah mengapa tidak pernah digubris dan terus memaksakan model UN itu diterapkan," ungkapnya.
Rohmani juga meminta agar kewewenangan dalam menentukan kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah, karena sekolah dianggap lebih dapat mengetahui keberhasilan pembelajaran peserta didiknya. Dengan demikian tujuan pendidikan akan lebih tercapai," kata dia.
"UN sekarang sudah menjadi komoditas politik, hanya mengejar jumlah siswa lulus. Bahkan, kepala daerah, sekolah, dan guru menjadikan UN sebagai prestasi keberhasilan kepemimpinannya," kata Rohmani, anggota Komisi X DPR RI dalam siaran pers yang dikirimnya lewat surat elektronik, Senin (22/11/2010).
Menurut Rohmani, karena sudah menjadi komoditas politik itu yang menyebabkan setiap tahunnya tetap terjadi praktik kecurangan terhadap UN, seperti pembocoran soal ujian dan guru memberi kunci jawaban kepada muridnya. Di sisi lain, tidak sedikit pemerintah daerah membiarkan kecurangan tersebut.
"Demi mengejar angka kelulusan yang tinggi, pemerintah daerah melakukan apa saja agar dapat mewujudkannya," ujar Rohmani.
Ia menyatakan kekhawatirannya atas prilaku pengelola sekolah, guru, maupun pemerintahan daerah yang hanya terpaku pada angka kelulusan. Sebab, prilaku tersebut akan menggeser paradigma pendidikan yang seharusnya menekankan pada aspek proses menjadi hanya kepada aspek hasil.
Model UN yang dilakukan oleh pemerintah selama ini sangat tidak sesuai tujuan, bahkan telah keluar dari paradigma pendidikan bangsa yaitu membentuk insan yang cerdas dan bertaqwa. UN seharusnya tidak boleh menjadi veto bagi pemerintah untuk menentukan kelulusan siswa, karena hal itu dinilai mengabaikan proses pembelajaran dan keragaman potensi siswa.
Rohmani juga mengaku heran dengan sikap pemerintah yang terus memaksakan UN. Padahal, DPR telah meminta pemerintah untuk merubah model UN agar tidak menjadi penentu kelulusan.
"Kami di komisi X DPR RI telah berkali-kali meminta pemerintah untuk merubah model UN yang sekarang, tetapi entah mengapa tidak pernah digubris dan terus memaksakan model UN itu diterapkan," ungkapnya.
Rohmani juga meminta agar kewewenangan dalam menentukan kelulusan siswa diserahkan kepada sekolah, karena sekolah dianggap lebih dapat mengetahui keberhasilan pembelajaran peserta didiknya. Dengan demikian tujuan pendidikan akan lebih tercapai," kata dia.
0 komentar:
Post a Comment