MI. Senin, 18 Oktober 2010 00:00 WIB
NEGERI ini mendapat predikat sebagai negara yang memiliki varian tanaman pangan paling beragam di dunia. Namun, predikat tersebut tidak serta-merta membuat warganya cukup pangan. Data Kementerian Pertanian menyebutkan saat ini daerah rawan pangan di Tanah Air sekitar 4,5%, terutama berada di Indonesia bagian timur.
Namun, ada fakta lain yang lebih memprihatinkan. Berdasarkan global hunger index (indeks kelaparan dunia), yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini, dari lima kategori, Indonesia termasuk negara yang berkategori 'serius' terancam rawan pangan.
Lima kategori itu, mulai dari yang terjelek, yaitu 'sangat mengkhawatirkan', 'mengkhawatirkan', 'serius', 'moderat', dan 'rendah'. Jadi, kategori 'serius' rawan pangan tergolong buruk karena hanya satu tingkat di atas kategori 'mengkhawatirkan'.
Indeks kelaparan dunia itu menunjukkan 122 negara masih dalam tahap berkembang dan transisi. Sebanyak 29 negara masih memiliki tingkat kelaparan yang 'sangat mengkhawatirkan' dan 'mengkhawatirkan', antara lain Burundi, Chad, Republik Demokratik Kongo, dan Eritrea.
Sebagian besar negara-negara dengan kategori 'mengkhawatirkan' berada di Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Itu berarti negara-negara tersebut hanya satu tingkat lebih jelek jika dibandingkan dengan Indonesia dalam hal rawan pangan.
Bagi negara-negara di Afrika dengan varian tanaman pangan terbatas, ancaman rawan pangan dapat dianggap wajar. Akan tetapi, bagi Indonesia yang memiliki keragaman jenis tanaman pangan, ancaman rawan pangan merupakan ironi.
Penyebabnya kebijakan pangan nasional banyak salah. Di antaranya 'penyeragaman' makanan pokok, yakni beras, yang kian tidak terkendali. Di sisi lain, lahan untuk menyemai padi terus tergerus.
Hampir tidak ada sudut di negeri ini yang tidak mengonsumsi nasi. Padahal, dulu kita mengenal warga Madura dengan makanan pokok jagung dan warga Maluku sagu. Semua kearifan lokal itu punah.
Akibatnya, ketika persediaan beras menipis dan panen padi gagal, rawan pangan pun tak terelakkan. Karena itu, kebijakan pangan nasional harus serius untuk mendiversifikasikan pangan.
Kebijakan pangan yang salah lainnya adalah lebih mementingkan ekspor, padahal kebutuhan dalam negeri belum tercukupi. Indonesia yang kaya laut, misalnya, ternyata defisit ikan hingga 1 juta ton per tahun.
Ancaman rawan pangan memang bukan monopoli Indonesia. Namun, kita berbeda dengan negara-negara lain yang lebih sigap mengantisipasi ancaman tersebut.
China, Filipina, bahkan Thailand dan Vietnam yang menjadi lumbung beras kini sudah memulai gerakan mengamankan cadangan pangan dalam negeri mereka dari ancaman pangan pada 2011.
Tapi, di sini, yang terjadi masih cekcok soal apakah benar kita surplus beras atau tidak. Bahkan, kita masih terjebak dalam perdebatan soal benar-tidaknya negeri ini rawan pangan.
0 komentar:
Post a Comment