Konsep Dasar Geografi Budaya
Geografi budaya adalah bukan satu ilmu baru. Penggeneralisasian ini menganggap sah/membenarkan apakah kita menggambarkan" pokok" untuk berarti satu disiplin ilmiah yang dikenal atau hanya pandangan. Kemudian merasakan dunia, geografi budaya sungguh didirikan jaman dahulu; di dalam pengertian terdahulu, akar nya adalah sama mendalam ketika mereka yang geografi akademis secara keseluruhan. Sampai titik ini adalah cukup untuk menarik perhatian terhadap perbedaan-perbedaan budaya, area-area budaya yang tentu saja- di dalam tulisan Herodotus dan Strabo, atau statemen-statemen yang semakin tegas/eksplisit Ratzel dan Vidal de la Blache. Keinginan pembaca juga catatan bahwa banyak dari penulis buku geografi budaya adalah sarjana-sarjana senior yang telah aktif di dalam geografi atau bidang-bidang terkait selama bertahun-tahun. Itu adalah sesuatu paradox, oleh karena itu, yang mana geografi budaya belum banyak didukung oleh pedoman dan literatur yang baku.
Geografi Budaya sebenarnya telah berkembang lama, dan menjadi bagian integral dari disiplin geografi. Geografi Budaya tidak sama dengan geografi manusia, tetapi keberadaannya sebagaimana halnya geografi ekonomi, geografi politik, dan cabang geografi lainnya, yang kesemua itu merupakan sub-bagian dari geografi yang lebih luas.
Geografi budaya merupakan aplikasi ide/gagasan dari budaya terhadap masalah-masalah geografi. Oleh karena itu dalam kajian geografi budaya ada lima tema inti yang perlu dijadikan perhatian. Kelima tema inti tersebut adalah: a) budaya, b) area budaya, c) bentang budaya, d) sejarah budaya, dan e) ekologi budaya (Wagner P.L dan M.W. Mikeesell, 1971: 1). Pokok kajian seperti halnya cabang-cabang geografi yang lain, yakni yang berkenaan dengan muka bumi, khusus yang berhubungan dengan hasil/modifikasi dari tindakan-tindakan manusia. Dalam hal ini geografi budaya berusaha mengkaji hasil budi daya manusia, perbedaan-perbedaan di antara komunitas, cara-cara hidup (way of life) yang khas dari setiap budaya yang ada.
Geografi budaya, mencoba memperbandingkan distribusi perubahan dari area budaya (cultural area) dan distribusi dari kenampakan muka bumi. Dari situ, dapat dilakukan identifikasi terhadap karakteristik kenampakan lingkungan sebagai akibat dari pengaruh kebudayaan. Selain itu juga berusaha mencari tahu tentang apa peran tindakan manusia dalam penciptaan dan pemeliharaan kenampakan geografik. Geografi budaya juga berusaha membedakan, mendeskripsikan, dan mengklasifikasikan tipe yang kompleks dari kenampakan lingkungan, termasuk di dalamnya hasil buatan manusia yang serupa dari setiap komunitas kebudayaan, atau yang disebut dengan bentang budaya; termasuk juga berusaha mempelajari latar belakang sejarah dalam konteks sejarah budaya yang asli.
Disamping itu geografi budaya, berusaha mengkaji proses-proses spesifik dimana manusia memanipulasi lingkungan, serta implikasinya untuk kesejahteraan dari komunitas dan umat manusia atau yang dikenal sebagai ekologi budaya. Kelima tema inti dalam kajian geografi budaya tersebut diuraikan sebagai berikut.
Cultural geography is a relatively new sub-field within human geography. A very simple and broad definition of Cultural Geography is the study of geographical aspects of human culture.
Areas of study
The area of study of Cultural Geography is very broad. Among many applicable topics within the study are:
Globalization as the process, in which connections around the world increase and cultures become more alike.
- Globalization is an example of cultural convergence different cultures blending together.
- Westernization or other similar processes such as Americanization, Islamization and others.
- Theories of Cultural hegemony or cultural assimilation via cultural imperialism.
- Cultural areal differentiation as a study of differences in way of life encompassing ideas, attitudes, languages, practices, institutions, and structures of power and whole range of cultural practices in geographical areas/Cultural region).
- Study of cultural landscapes.
- Other topics include Spirit of place, colonialism, post-colonialism, internationalism, immigration, emigration. Ecotourism.
Kebudayaan (Culture)
Sering kita dengar berbagai kebanyakan orang membicarakan tentang kebudayaan, namun pemahaman tentang pengertian yang digunakan banyak ragamnya, bahkan terkesan rancu. Satu pihak orang menggunakan pngertian kebudayaan sebagai hasil karya manusia yang indah-indah (seperti kesenian). Selanjutnya di pihak lain orang menggunakan pengertian kebudayaan untuk menyatakan ciri-ciri yang tampak dari sekelompok anggota masyarakat tertentu yang digunakan untuk membedakan dengan kelompok anggota masyarakat yang lain. Sementara yang lain juga ada yang menggunakan pengertiaan kebudayaan untuk menyatakan tingkat kemajuan teknologi yang didukung oleh tradisi tertentu untuk membedakan kebudayaan yang belum banyak menggunakan peralatan mesin dan teknologinya masih sederhana.
Dari anggapan-anggapan tersebut, kemudian apa sebenarnya yang dimaksud dengan kebudayaan itu? Sebagaimana sering dibicarakan orang akhir-akhir ini, terutama apabila seseorang membicarakan suatu kebudayaan masyarakat tertentu; seperti misalnya yang berkenaan dengan pewarisan nilai-nilai budaya, atau tentang daya tarik suatu kebudayaan tertentu guna kepentingan pemasukan ekonomi lewat program pariwisata.
Suatu hal yang jelas, kebudayaan dalam konteks tulisan ini adalah hasil manusia dalam usahanya mempertahankan hidup, mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan hidup dengan segala kendala yang ada pada diri dan pribadinya serta sumber-sumber alam yang ada di sekitarnya. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai perwujudan tanggapan aktif manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungannya (Subur Budhisantoso, 1992).
Dengan demikian kehidupan manusia dipermudah dengan kebudayaan yang mereka kembangkan. Akan tetapi peralatan dan teknologi yang mula-mual mereka kembangkan itu pada gilirannya akan menciptakan lingkungan baru dengan segala tantangannya. Akhirnya manusia mengembangkan kebudayaan bukan semata-mata terdorong oleh karena tantangan dan kebutuhan yang timbul dari lingkungannya, tetapi juga karena upaya menanggapi tantangan dan lingkungan buatan yang mereka ciptakan sendiri.
Tidaklah mengherankan apabila di dunia ini berkembang aneka ragam kebudayaan, walaupun pada dasarnya semua itu berkembang sebagai hasil upaya manusia yang mempermudah usahanya memenuhi kebutuhan pokok (biologis) yang universal. Akan tetapi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok itu sendiri menimbulkan berbagai kebutuhan sampingan (derived needs) yang jauh lebih banyak ragamnya, mengingat tantangan lingkungan “buatan” yang menuntut pengembangan pengelolaan maupun teknologi yang senantiasa berkembang.
Mengingat bahwa setiap kebudayaan yang dikembangkan oleh manusia itu merupakan perwujudan tanggapan mereka atas dorongan yang timbul dalam upayanya mempertahankan hidup yang ditujukan untuk membina kesejahteraan sesuai dengana tantangan lingkungan serta kemampuan masyarakat yang bersangkutan, maka sesungguhnya tiada kebudayaan yang lebih tinggi atau sebaliknya lebih rendah tingkatannya. Setiap kebudayaan lambat atau cepat akan berkembang sesuaai dengan tantangan dan kemampuan masyarakat pendukungnya menanggapi tantangan yang mereka hadapi. Apa yang berbeda adalah kecepatan berkembang antara kebudayaan yang dipengaruhi oleh bermacam faktor, antara lain kesempatan dalam sejarah dan perkembangan teknologi yang mendukungnya.
Kesempatan dalam sejarah dan perkembangan teknologi dapat mempercepat ataupun memperlambat perkembangan kebudayaan tergantung pada cara masyarakat kebudayaan yang terlibat menanggapi pengaruh termaksud. Kini kita bisa melihat adanya kebudayaan “maju” teknologinya oleh karena memang masyarakat pendukung kebudayaan yang disebut belakangan kurang beruntung dalam memperoleh dan menanggapi kesempatan yang ada.
Keadaan sedemikian tidaklah berarti bahwa di dunia ini ada kebudayaan yang statis, seperti apa yang orang perkirakan terhadap kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di Asia, kecuali Jepang yang dianggap “statis” itu akan berkembang teknologinya baik melalui penemuan-penemuan serta perekayasaan tempat (local discoveries dan inventions) maupun karena difusi kebudayaan asing. Lebih-lebih setelah teknologi di bidang pengetahuan dan perhubungan maju dengan pesatnya, tukar menukar dan persebaran unsur-unsur kebudayaan melalui kontak-kontak budaya sebagai saluran pembaharuan semakin pesat dan tidak terelakkan lagi.
Apa yang hendak di tekankan pada uraian ini adalah bahwa setiap kelompok sosial atau masyarakat manusia mengembangkan kebudayaan sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang timbul dan harus dihadapi oleh setiap anggota masyarakat baik sebagai makluk biologis maupun makluk sosial. Tanggapan yang mewujudkan kebudayaan itu merupakan sarana yang paling cocok untuk dilaksanakan. Karena itu tidak ada alasan yang menyatakan suatu kebudayaan lebih rendah atau primitif dari pada kebudayaan yang lain, kecuali kalau kita bicara soal teknologi. Sedangkan kemajuan di bidang teknologi tidak menjamin tingginya suatu kebudayaan, karena seringkali tidak diimbangi dengan perkembangan pranata sosial atau khususnya pengendalian sosial secara memadai seperti apa yang tedapat dalam kebudayaan yang teknologinya masih terbelakang.
Faktor lain yang perlu diingat adalah bahwa walaupun setiap masyarakat mengembangkan kebudayaan sebagai perwujudan upaya adaptasi aktif mereka dengan lingkungannya, didunia ini tidak ada kebudayaan asli dalam arti belum terkena pengaruh dari luar. Lebih-lebih setelah kemajuan teknologi yang mendukung kelancaran mobilitas penduduk dan arus informasi, tukar-menukar dan penyebaran kebudayaan lewat perdagangan maupun lewat perang dan penindasan, bukan hal yang luar biasa. Barangkali seperti apa yang dikatakan Ralp Linton (1936), sarjana Antropologi Amerika yang kenamaan, kalau ada suatu bangsa yang ingin menghitung keaslian unsur kebudayaannya paling banyak ia akan menemukan 13% bagian dari kebudayaan yang masih asli adalah hasil pengembangan dan perpaduan dengan unsur-unsur kebudayaan asing yang telah diterapkan melalui proses akulturasi. Namun tidaklah berarti bahwa banyaknya unsur kebudayaan asing dalam suatu kebudayaan, dapat merubah kebudayaan sebagai ‘kerangka acuan yang berlaku dalam masyarakat yang terlibat. Masing-masing masyarakat akan menanggapi, menerima, mengolah dan menyerap unsur-unsur kebudayaan asing dalam kerangka acuan yang menguasai kehidupan sosial mereka selama ini.
Demikian kalau fungsi kebudayaan yang dikembangkan oleh masyarakat pendukungnya itu merupakan alat penyambung non-jasmaniah yang mempermudah upaya manusia memenuhi kebutuhan pokok maupun kebutuhan sampingan yang timbul kemudian, maka sesungguhnya kebudayaan manusia itu dapat diartikan sebagai suatu perangkat acuan, yang menjadi pedoman bagi para pendukungnya dalam bertindak sehari-hari maupun dalam usahanya memahami lingkungan dimana mereka merupakan salah satu bagiannya. Tidaklah mengherankan pula kalau suatu masyarakat yang mengembangkan suatu kebudayaan dapat membedakan diri mereka dengan kelompok sosial lainnya, oleh karena mereka dilahirkan dan dibesarkan serta kemudian dibiasakan dalam perangkat acuan yang berbeda. Oleh karena itu pula kebudayaan dapat dipergunakan sebagai ciri yang membedakan suatu kelompok sosial terhadap kelompok sosial yang mendukung kebudayaan yang berlainan.
Area Budaya (Cultural Area)
Dalam menjelaskan tentang konsep area budaya, berikut kita ambil satu kasus tentang daerah Great Plains (culture area) yang asli, yaitu sebuah daerah geografis di mana terdapat sejumlah masyarakat yang mengikuti pola hidup yang sejenis. Tiga puluh satu suku bangsa yang merdeka dalam arti politik menghadapi lingkungan yang sama, di mana bison merupakan sumber pangan dan sumber bahan untuk pakaian dan perumahan yang paling mudah dan paling praktis. Karena hidup berdekatan, mereka dapat memanfaatkan penemuan dan hasil pengamatan baru secara bersama-sama. Mereka menumbuhkan adaptasi yang sama terhadap sebuah daerah ekologi tertentu dan memanfaatkannya bersama-sama.
Pada waktu terjadi kontak dengan orang-orang Eropa, orang-orang Indian di Great Plains itu tanpa terkecuali semuanya adalah pemburu bison, dan tergantung pada binatang itu dalam hal pangan, pakaian, rumah dan alat-alat dari tanduk. Setiap suku bangsa pada umumnya secara organisatoris terbagi atas sejumlah kelompok prajurit dan kewibawaan didasarkan atas kemahiran berburu dan berperang. Perkemahan mereka diatur secara khusus menurut pola lingkaran tertentu. Banyak upacara keagamaan, seperti Tarian Matahari (Sun Dance), dipraktekkan di seluruh daerah itu.
Kadang-kadang iklim dan topografi di daerah-daerah geografis tersebut tidak seragam, dan oleh karena itu penemuan baru tidak selalu menyebar dari kelompok yang satu kepada kelompok yang lain. Di samping itu, dalam sebuah daerah kebudayaan terdapat variasi lingkungan lokal, dan variasi itu menimbulkan variasi dalam hal adaptasi. Great Basin (lembah besar) di bagian barat Amerika Serikat yang meliputi negara bagian Nevada dan Utah, dengan bagian-bagian dari California, Oregon, Wyoming yang berbatasan merupakan contoh dalam kasus ini. Orang Shonshone di daerah Great Basin terbagi atas kelompok utara dan kelompok barat, kedua-duanya semula adalah pemburu dan peramu yang berpindah-pindah. Di utara, binatang-binatang besar cukup untuk memberi bekal kehidupan kepada populasi yang besar, di mana diperlukan tingkat kerjasama yang tinggi. Sebaliknya orang Shonshone di bagian barat hidupnya hampir melulu tergantung kepada pengumpulan tanaman liar, dan karena persediaannya sangat bervariasi menurut musim dan lokasinya, maka orang Shonshone di bagian barat terpaksa menjelajahi daerah yang luas untuk mencari makan. Dalam keadaan seperti itu, yang paling efisien ialah kalau bepergian dalam kelompok-kelompok yang hanya terdiri atas beberapa keluarga, dan hanya kadang-kadang berkumpul dengan kelompok-kelompok lain, itupun tidak selalu dengan kelompok yang sama.
Orang Shonshone bukan satu-satunya penghuni daerah Great Basin, di sebelah selatan juga hidup satu bangsa lain yang berhubungan dekat, yaitu orang-orang Paiute. Mereka itu juga pemburu peramu yang hidup dalam kondisi lingkungan yang sama seperti orang Shonshone, tetapi orang Paiute lebih aktif mengelola sumber-sumber pangan mereka yang liar itu dengan membelokkan aliran sungai-sungai kecil untuk mengairi tanaman liar mereka. Mereka tidak menanam daan bercocok tanam, namun meskipun demikian orang Paiute mampu menjamin adanya persediaan pangan yang lebih mantap dibanding dengan tetangga mereka di utara. Oleh karena itu populasi mereka lebih besar dari pada populasi Shonshone dan mereka hidup lebih menetap.
Untuk menjelaskan adanya variasi di daerah tertentu, Julian Steward mengusulkan konsep tipe kebudayaan (culture type), yaitu kebudayaan yang ditinjau berdasarkan adanya teknologi tertentu dan hubungannya dengan sifat-sifat lingkungan tertentu yang dapat ditangani dengan menggunakan teknologi tersebut. Contoh dari Great Plains menunjukkan bagaimana teknologi membantu menentukan sifat-sifat lingkungan yang bermanfaat. Padang rumput yang sama, yang dahulu memberi penghidupan suku-suku bangsa pemburu-peramu, kini memberi penghidupan kepada petani gandum. Orang Indian tidak sampai mengadakan pertanian di daerah itu bukan karena alasan-alasan lingkungan, juga bukan karena mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang pertanian tetapi karena sebelum mereka pindah ke daerah itu ada di antara suku-suku yang hidup dari pertanian. Mereka tidak bercocok tanam karena kawanan bison merupakan sumber pangan yang melimpah tanpa harus bercocok tanam dan karena akan sulit dilakukan tanpa menggunakan bajak yang berujung besi untuk menghancurkan tanah padang rumput yang padat. Potensi pertanian dari Great Plains hanya sekedar sifat yang tidak relevan dari lingkungan, mengingat sumber daya dan teknologi yang ada sebelum kedatangan orang Eropa.
Bentang Budaya (Cultural Landscape)
Salah satu aliran dalam geografi di Amerika Serikat adalah Cultural Geography, tokoh pendirinya adalah Carl Sauer dari Universitas California. Aliran ini lebih mengutamakan kajian atas aneka bentuk karya manusia di permukaan bumi sebagai wilayah. Sebagai contoh Bryan dalam bukunya yang berjudul Man’s Adaptation to Nature (1933) berpendapat bahwa perbedaan antara wilayah satu dengan yang lain itu berujud perbedaan cultural landscape, yakni bentang budayanya. Di dalam bentang budaya dijumpai empat aspek, yaitu: (1) Bentuk-bentuk struktural, misal: tanah garapan, permukiman, pertambangan, pabrik; (2) Sarana-sarana perpindahan manusia dan barang.(3) Proses-proses khusus, seperti dalam kegiatan pertanian, industri, dan transportasi. (4) Hasil-hasil kegiatan manusia yang antara lain berupa persediaan pangan, komoditi, kesehatan penduduk, dan pemerintahan yang baik.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa bentang budaya itu merupakan berbagai bentuk konkrit dari adaptasi manusia terhadap lingkungan alamnya. Dikatakan demikian karena jelas berkaitan lebih erat dengan usaha manusia untuk mengubah alam dari pada yang bertalian dengan pengaruh alam atas kehidupan manusia. Menurut Taylor aneka ragam karya manusia sebagaimana disebutkan di muka belumlah seluas yang disebut faktor manusia. Hal ini juga meliputi idiologi dan teknologi yang dipakai manusia sebagai alat untuk mengubah natur menjadi kultur, sehingga terciptalah wujud kenampakan fisik dari wilayah yang dihuninya.
Berbeda dengan bentang alam, pada bentang budaya telah masuk pengaruh-pengaruh manusia di dalamnya untuk merekayasa bentangan tersebut. Manusia dianggap sebagai mahluk yang aktif terhadap lingkungan dan tempat tinggalnya, dan tidaklah pasif. Dengan budayanya, manusia mampu mengubah apa yang ada di alam ini semata-mata dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam ilmu geografi faham ini disebut dengan Possibilis. Menurut kelompok posibilisme, yang sangat menentukan kemajuan suatu wilayah adalah tingkat kemampuan penduduk, sedangkan alam hanya memberikan kemungkinankemungkinan untuk diolah dan dimanfaatkan manusia.
Carl Sauer seorang tokoh geografi budaya mendefinisikan lanskap sebagai unit mendefinisikan penelitian geografis. Dia melihat bahwa budaya dan masyarakat dikembangkan dari lanskap mereka, tetapi di sisi lain lanskap juga membentuk masyarakat. Interaksi antara lanskap 'alami' dan manusia menciptakan 'lanskap budaya'.
Bentang budaya meliputi segela fenomena di permukaan bumi yang berhubungan dengan aktivitas manusia. Manusia sebagai penghuni bumi merupakan obyek sosial yang paling utama dalam geografi. Manusia dengan segala kemampuannya membuat kelompok-kelompok yang menempati wilayah tertentu sehingga terbentuk sebuah komunitas. Di dalam komunitas tersebut,
manusia saling berinteraksi dan membangun lingkungannya. Komunitas manusia tersebut selanjutnya disebut masyarakat. Interaksi antara manusia dengan linkungannya menghasilkan berbagai kegiatan, seperti industri, perdagangan, pasar, perkebunan, dan pendidikan. Wilayah yang ditempati sekelompok masyarakat memiliki batas-batas tertentu, baik berupa batas alamiah seperti sungai, gunung, laut, maupun batas sosial atau budaya seperti tugu dan jalan yang dibuat oleh manusia. Contoh obyek sosial dalam bentuk bentang budaya antara lain sebagai berikut:
- Jalan raya adalah jalan yang besar, lebar, dan beraspal sehingga dapat dilalu oleh kendaraan besar seperti truk dan bus.
- Rel adalah jalan kereta api yang dibuat dari batangan besi.
- Pelabuhan udara adalah tempat di daratan yang digunakan untu aktifitas pesawat terbang dan penggunaannya, baik untuk penumpang maupun barang.
- Pelabuhan laut, pelabuhan pantai, atau pelabuhan samudera adalah tempat yang digunakan untu merapat dan bersandarnya kapal-kapal laut serta berbagai kegiatannya.
- Lahan pertanian atau lahan garapan adalah tanah dengan luas tertentu yang dapat digunakan untuk berbagai aktifitas cocok tanam, contohnya sawah dan ladang.
Dalam mengkaji suatu wilayah tentu saja tidak
cukup apabila seorang geograf hanya memperhatikan karya manusia yang sifatnya
materiil, tetapi juga memperhatikan segala faktor yang ada untuk menafsir
karakteristik atau kepribadian wilayah yang bersangkutan. bahkan dalam
melakukan pendekatan geografis. Sehubungan itu perlu pula dipakai sebagai
dasar, pandangan hidup serta keyakinan agama setempat. Barulah wilayah yang
dihuni akan mendapatkan ciri-cirinya yang khas yang membuatnya lain dari
wilayah lainnya.
Sejarah Budaya (Cultural History)
Pada dasarnya, sejarah dapat diartikan menjadi beberapa identifikasi sebagai berikut:
Kata sejarah yang berasal dari bahasa Arab "SYAJARATUN" yang berarti pohon kehidupan walaupun dalam bahasa Arab sendiri mengartika ilmu yang mempelajari kisah tentang masa lalu dinamakan TARIKH. Kata sejarah dari bahasa Inggris "HISTORY" yang sebenarnya kata HISTORY itu sendiri berasal dari bahasa Yunani ISTORIA yang berarti orang pandai. Kata sejarah dalam bahasa Jerman dan Belanda. Dalam bahasa Jerman, kata sejarah berasal dari kata GESCHICHTE dan dalam bahasa Belanda berasal dari kata GESCHIDENIS. Dalam bahasa Jerman dan Belanda mempunyai arti yang sama, yaitu "kejadian yang dibuat oleh manusia".
Ilmu sejarah mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Masa lampau memiliki pengertian yang sangat luas, bisa berarti satu abad yang lalu, puluhan tahun yang lalu, sebulan yang lalu, sehari yang lalu atau sedetik yang lalu, bahkan waktu sekarang ketika sedang membaca tulisan ini akan menjadi masa lampau. Kita harus menyadari bahwa rangkaian peristiwa sejarah sejak adanya manusia sampai sekarang adalah peristiwa yang berkelanjutan atau berkesinambungan (continuity). Roeslan Abdul Ghani mengatakan bahwa ilmu sejarah ibarat penglihatan terhadap tiga dimensi, yaitu pertama, penglihatan ke masa silam, kedua ke masa sekarang dan ketiga ke masa depan (to study history is to study the past to built the future).
Dengan demikian, mempelajari peristiwa-peristiwa sejarah akan selalu terkait dengan “waktu’ (time) yang terus bergerak dari masa sebelumnya ke masa-masa berikutnya serta melahirkan peristiwa-peristiwa yang baru yang saling terkait sehingga perjalanan sejarah tidak pernah berhenti (stagnan). Ilmu sejarah juga mengenal adanya konsep ”perubahan” (change) kehidupan sejak adanya manusia sampai sekarang yang berlangsung secara lambat (evolusi) ataupun berlangsung dengan cepat (revolusi).
Panta Rei, artinya tidak ada yang tidak berubah, semuanya mengalir, masyarakat sewaktu-waktu bergerak dan berubah (Herclitus). Semua sisi kehidupan terus bergerak seiring dengan perjalanan waktu dari masa lampau ke masa kini menuju masa yang akan dating. Selama itu pula terjadi perubahan-perubahan. Sehingga setiap peristiwa sejarah tidak berdiri sendiri atau terpisah. Dengan demikian, mempelajari sejarah bukan berarti mempelajari sesuatu yang terpencil pada masa lampau, melainkan mempelajari sesuatu yang terus berjalan dengann pijakan masa lampau, menarik garis ke masa sekarang dan ke masa yang akan datang.
Ekologi Budaya (Ecological Cultural)
Ekologi adalah ilmu yang mempelajari interaksi antara organisme dengan lingkungannya dan yang lainnya. Berasal dari kata Yunani oikos ("habitat") dan logos ("ilmu"). Ekologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya. Istilah ekologi pertama kali dikemukakan oleh Ernst Haeckel (1834 - 1914). Dalam ekologi, makhluk hidup dipelajari sebagai kesatuan atau sistem dengan lingkungannya.
Pembahasan ekologi tidak lepas dari pembahasan ekosistem dengan berbagai komponen penyusunnya, yaitu faktor abiotik dan biotik. Faktor abiotik antara lain suhu, air, kelembaban, cahaya, dan topografi, sedangkan faktor biotik adalah makhluk hidup yang terdiri dari manusia, hewan, tumbuhan, dan mikroba. Ekologi juga berhubungan erat dengan tingkatan-tingkatan organisasi makhluk hidup, yaitu populasi, komunitas, dan ekosistem yang saling memengaruhi dan merupakan suatu sistem yang menunjukkan kesatuan.
Ekologi merupakan cabang ilmu yang masih relatif baru, yang baru muncul pada tahun 70-an. Akan tetapi, ekologi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cabang biologinya. Ekologi mempelajari bagaimana makhluk hidup dapat mempertahankan kehidupannya dengan mengadakan hubungan antar makhluk hidup dan dengan benda tak hidup di dalam tempat hidupnya atau lingkungannya.[2] Ekologi, biologi dan ilmu kehidupan lainnya saling melengkapi dengan zoologi dan botani yang menggambarkan hal bahwa ekologi mencoba memperkirakan, dan ekonomi energi yang menggambarkan kebanyakan rantai makanan manusia dan tingkat tropik.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism. Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Ekologi adalah cabang ilmu pengetahuan yangmembicarakan makhluk hidup khususnya manusia dalam hubungannya dengan kondisi lingkungan hidupnya dimana manusia itu berada dan memanfaatkan lingkunngan itu memenuhi keperluan hidupnya. Manusia harus merawatnya dengan tindakan- tindakan yang di pertimbangkan untuk mendapatkan keseimbangan dalam kelangsungan lebih lajut hidupnya. Lingkungan memberikan hasil kepada manusia atas budidayanya terhadap lingkungan berapa sumber daya dalam latar tertentu: energi, dan materi dan pelayanan.
Permasalahan lingkungan hidup yang dibutuhkan dari sebab dinamika alam atau perilaku manusia yang melanggar daya dukunng lingkunngan adalah permasalahan ekologi. Pengelolaan lingkungan hidup manusia tidak lepas dari ekologi manusia, yaitu hubungan timbale balik antara perilaku manusia dengan lingkungan hidupnya. Perilaku manusia terikat dengan tingkat nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya dalam mengelola. Tingkat kebudayaan ini penting karena merupakan regulator bagi perilaku-perilaku dan maksimalitas sumber daya yang dihasilkan.
Ekologi Budaya adalah sebuah cara pandang memahami persoalan lingkungan hidup dalam perpektif budaya. Atau sebaliknya, bagaimana memahami kebudayaan dalam perspektif lingkungan hidup. Ulang-alik antara lingkungan hidup (ekologi) dan budaya itulah yang menjadi bidang garap Ekologi Budaya.