Oleh: Supardi Suparlan
Tidaklah dapat disangkal bahwa untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya, manusia dimanapun secara langsung atau tidak, bahkan sering kali tanpa disadarinya, akan selalu tergantung pada lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup. Baik yang berkaitan dengan macam dan jumlah serta kualitas udara, angina, cuaca, air, kelembaban dan sebagainy: maupun yang berkenaan dengan jumlah, macam, dan kualitas sumber-sumber alam yang digunakannya untuk makan dan minum, untuk berbagai peralatan dan berbagai kesenangannya dan sebagainya.
Sesungguhnya hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik dan alamnya tidaklah semata-mata terwujud sebagai hubungan ketergantungan manusia terhadap lingkungannya, tetapi juga terwujud sebagai suatu hubungan dimana manusia mempengaruhi dan merubah lingkungannya. Dengan kata lain, manusia juga turut menciptakan corak dan bentuk lingkungannya: dan dalam lingkungan yang diciptakannya, baik yang nyata dan maupun yang sebagaimana dilihat atau dibayangkannya, itulah dia hidup dan tergantung pada serta mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Manusia dari satu segi menjadi sebagian dari lingkungan fisik dan alam tempatnya hidup: tetapi dari segi yang lain, lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup adalah sebagian dari dirinya.
Kerangka landasan bagi menciptakan dan membuat manusia menjadi tergantung pada dan merupakan sebagian dari lingkungan fisik dan alamnya adalah kebudayaannya. Sebagaimana dikemukakan oleh Forde (1963:463), “hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alamnya di-jembatani oleh pola-pola kebudayaan yang dipunyai manusia.” Dengan menggunakan kebudayaan inilah manusia meng-adaptasi dengan lingkungannya, dan dalam proses adaptasi ini manusia mendayagunakan lingkungannya untuk tetap dapat melangsungkan kehidupannya (Tax 1953:243). Masalahnya, kemudian, adalah bagaimanakah sebenarnya dalam kenyataannya operasionalisasi dari penggunaan kebudayaan oleh manusia dalam hal melihat dan meng-interpretasi, menghadapi, mengadaptasi dirinya dengan, dan mendaya-gunakan lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup? Dalam tulisan ini, pertanyaan tersebut akan dikaji, menurut perspektif antropologi budaya, yang tercakup dalam uraian mengenai kebudayaan, manusia dan lingkungan, dan penutup.
Manusia dan Lingkungannya
Salah satu fungsi utama dari kebudayaan bagi manusia adalah dalam proses adaptasi dengan lingkungannya. Adaptasi adalah suatu proses untuk memenuhi beberapa syarat dasar tertentu untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya dalam lingkungan tempatnya hidup. Ada tiga macam syarat-syarat dasar yang harus dipenuhi manusia untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya, yaitu: (1) Syarat-syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan, minum, menjaga kestabilan temperature tubuhnya, menjaga tetap berfungsinya organ-organ tubuh dalam hubungan yang harmonis dan secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainnya); (2) Syarat-syarat kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari perasaan-perasaan takut, keterkucilan, gelisah, dan berbagai masalah kejiwaan lainnya; (3) Syarat-syarat dasar social (membutuhkan berhubungan dengan orang lain untuk dapat melangsungkan keturunan, untuk tidak merasa terkucil, untuk dapat belajar mengenai kebudayaannya, untuk mempertaruhkan diri dari serangan musuh dan sebagainya).
Dalam usaha pemenuhan tiga macam syarat dasar yang harus dipenuhi oleh manusia untuk dapat tetap melangsungkan kehidupannya, manusia menggunakan kebudayaan yang dipunyai sebagai kerangka sandarannya. Hal inilah yang membedakannya dengan hewan, karena hewan melakukan adaptasi ini dengan perlengkapan yang telah dipunyainya dalam sifat-sifat biologi dan genetikanya.
Setiap manusia hidup dalam suatu lingkungan alam dan fisik yang dalam batas-batas tertentu memungkinkan bagi kelangsungan hidupnya. Lingkungan alam dan fisik ini, berikut unsur-unsur yang ada di dalamnya merupakan sesuatu yang nyata ada yang dapat dirasakan oleh panca indra manusia. Hutan dan pepohonannya; sungai dengan tebing-tebing dan airnya yang mengalir serta batu-batunya; sawah dengan padi, galengan – galengan yang ditumbuhi rerumputan dan bunga-bungaan yang beraneka ragam baunya; adalah hal-hal yang nyata ada dan tidak bisa lain dari pada keadaannya.
Tetapi manusia dengan kebudayaannya melihat lingkungan alam dan fisik dengan menggunakan kacamata kebudayaannya sehingga mereka yang mempunyai kebudayaan yang berbeda, akan melihat, meng-interpretasi dan merasakan lingkungan alam dan fisik tersebut secara berbeda-beda. Seorang turis dari kota Jakarta yang pergi berlibur di sebuah villa di Cipanas, misalnya, akan melihat hamparan gung dengan hawanya yang sejuk dan suasananya yang tenang yang diselingi oleh bunyi kokok ayam dan margasatwa lainnya, melihat hamparan sawah yang bertingkat-tingkat yang warnanya kuning dan hijau di sana-sini bergelombang-gelombang ditiup angin, dan di antara hamparan sawah tersebut air yang jernih gemercik melalui sawah-sawah dan pulau-pulau pepohonan yang merupakan rumah-rumah penduduk. Sang turis akan merasa nyaman dan tentram hatinya, dan yang dilihatnya hanyalah keindahan dan pemandangan di hadapan matanya saja. Mungkin dia akan berkata sebagaimana banyak orang kota yang mengutarakan impiannya:”Desa adalah tempat yang tata temtrem kerta raharja.”
Tetapi si petani yang menggarap sawahnya yang kebetulan pas-pasan luasnya, tidak memikirkan keindahan sebagaimana dirasakan oleh sang turis tersebut. Dia melihat sawah sebagai tempat bergantung bagi kelanjutan kehidupannya dan keluarganya. Yang dipikirkan adalah bagaimana mengolah sawah dengan sebaik-baiknya sehingga padinya dapat tumbuh dengan baik. Dia memikirkan bagaimana supaya padinya tidak diserang oleh hama wereng, ulat serdadu, tikus, burung. Berapa hasil tuaiannya, setelah dipotong untuk biaya menuai. Dari hasil tuaiannya berapa yang harus dibayarkan untuk membayar hutang BIMAS., berapa besar yang harus dibayarkan untuk membayar hutang-hutangnya, untuk membayar macam sumbangan wajib sebagai warga masyarakat, berapa banyaknya padi yang tersisa untuk dimakan sampai musim panen berikut setelah dikurangi untuk benih dan untuk membiayai bermacam upacara yang harus dilakukannya. Si petani melihat sawah dan lingkungan alam dan fisik tempatnya hidup sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hidupnya, dan hidupnya sendiri merupakan bagian dari kehidupan sawah dan lingkungan alam dan fisiknya.
Contoh yang lain lagi, sebagaimana terdapat dalam harian Kompas tertanggal 31 Januari 1980, penduduk Riau di hulu sungai Rokan melihat hutan sebagai: (a) hutan biasa dan (b) hutan rimba belantara. Hutan rimba belantara adalah hutan yang pohon-pohonan besar-besar dan tinggi-tinggi, orang yang masuk ke dalam hutan tersebut tidak bisa keluar lagi karena hutan tersebut dihuni oleh makhluk-makhluk halus. Tetapi bagi pengusaha asing pemegang HPH, hutan rimba belantara ini adalah sumber rejeki yang berlimpah-limpah besarnya dan patut dibabat untuk diambil kayu-kayunya.
Kebudayaan bukan hanya menentukan bagaimana sesuatu lingkungan alam dan fisik itu dilihat dan difahami, tetapi juga menjadi kerangka landasan bagi manusia dalam menggolong-golongkan unsur-unsur yang ada didalamnya, sebagaimana contoh penggolongan hutan oleh orang Riau. Penggolongan ini bisa berbeda dari atau sama sekali tidak diketahui oleh orang-orang yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Misalnya penggolongan tanah menjadi tanah pekarangan, tanah tegalan, dan tanah sawah oleh orang Jawa belum tentu diketahui oleh orang Dani, yang tinggal di pegunungan Jaya Wijaya, serta berbeda dengan cara penggolongan mereka mengenai tanah.
Lebih lanjut, penggolongan atas tanah pada orang Jawa tersebut berkaitan dengan sistem penggolongan jenis-jenis tanaman dan menurut musim-musim tertentu tumbuhnya jenis-jenis tanaman tersebut. Penggolongan jenis-jenis tanah dan tanaman berkaitan dengan penggolongan jenis-jenis peralatan yang digunakan untuk mengolah tanah, menanam, memelihara tanaman, memetik hasil tanaman, mengangkut hasil tanaman dari tempat ditanam ke rumah. Berikut ini adalah contoh garis besar penggolongan tanah dan penggunaannya pada orang Jawa.
Tanah
|
Tanaman
|
Musim hujan
|
Musim Kemarau
|
Peralatan Pengolahan
|
Pekarangan
|
Buah-buahan palawija
|
Buah-buahan Palawija
|
Buah-buahan Palawija
|
cangkul
|
Tegalan
|
palawija
|
Palawija
|
Palawija
|
Cangkul
|
Tanah sawah padi irigasi
|
Padi
|
padi
|
Padi
|
Bajak garu
|
|
Palawija
|
Padi
|
Palawija
|
Cangkul
|
Tanah sawah padi tadah hujan
|
Padi
Palawija
|
Padi
|
Palawija
|
|
Sistem
penggolongan ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil dan yang lebih kecil lagi
dari sesuatu unsur lingkungan alam dan fisik tidaklah berlaku hanya atas unsur
tersebut saja. Tetapi juga berlaku atas unsur-unsur alam dan fisik lainnya –
keseluruhannya sebagaimana tercakup dalam kebudayaannya, dan berkait-kaitan
dengan sistem penggolongan yang berlaku bagi sistem peralatan dan tindakan
manusia dalam rangka penggunaannya bagi usaha untuk tetap dapat melangsungkan
kehidupannya. Lebih lanjut, sistem penggolongan ini juga akan berlaku dan
saling berkaitan dengan aspek-aspek yang ada dalam kebudayaan, yaitu: sistem
ekonomi, sistem polotik, struktur social, sistem agama, bahasa dan komunikasi.
Sehingga secara keseluruhan, manusia kebudayaan, dan lingkungannya merupakan
suatu kesatuan sistem yang berada dalam hubungan saling pengaruh mempengaruhi.
Karena itu tidaklah mengherankan
kalau sesuatu alat, kapak besi misalnya yang dipunyai oleh seorang warga suku
Dani di Irian Jaya, bukan semata-mata mempunyai arti dalam hal kegunaannya
untuk sebagai alat senjata untuk menebang kayu tetapi juga sebagai simbol
status bagi yang mempunyainya. Hal sama, sebenarnya juga terjadi dalam
masyarakat pedesaan di Indonesia dewasa ini dimana televise bukan hanya sebagai
alat hiburan atau alat untuk dapat memperoleh informasi secara audio-visual
tetapi juga sebagai simbol status bagi pemiliknya.
Di antara aspek-aspek kebudayaan
tersebut, sistem ekonomi dan teknologi (yaitu pengetahuan mengenai membuat dan
menggunakan peralatan) adalah menjadi tonggak utama yang menentukan corak dan
tingkat hubungan antara manusia dengan lingkungannya dan turut menentukan
tingkat ketergantungan mabusia terhadap lingkungannya. Tingkat hubungan manusia
dengan lingkungannya turut menentukan tingkat kualitas kesejahteraan hidup dan
kondisi lingkungan tersebut, dan hal ini berpengaruh terhadap perkembangan
kebudayaan dari para warga masyarakat tersebut.
Dalam masyarakat-masyarakat
primitive, yaitu dengan sistem teknologi dan ekonomi yang rendah dan terbatas
untuk keperluan subsistensi, ekuilibrium yang mencakup unsur-unsur manusia,
kebudayaan, dan lingkungannya dapat tetap dipertahankan. Karena: (1)
masyarakatnya bersifat homogen dan interaksi social yang terwujud terbatas pada
warga masyarakat yang bersangkutan dan berlaku secara menyeluruh karena
populasi yang terbatas, sehingga pengetahuan kebudayaan para warga masyarakat
tersebut relative sama dan totalitas kebudayaannya serta tradisi yang ada dapat
dipertahankan; (2) jumlah penduduk relative stabil, dalam jangka waktu yang
cukup lama, karena berbagai penyakit infeksi dan epidemi yang menyerang secara
berkala, yang belum dapat diatasi dengan tingkat teknologi yang mereka punyai; (3)
keadaan lingkungan alam dan fisik relative stabil, dalam jangka waktu yang
cukup lama, karena eksploitasi atasnya masih terbatas hanya untuk kepentingan
subsistensi dan untuk populasi yang terbatas dan juga karena tingkat teknologi
yang rendah tidak memungkinkan dilakukannya eksploitasi atas sumber-sumber alam
secara besar-besaran; (4) ada suatu mekanisme dalam kebudayaan orang primitive
yang menahan dilakukannya eksploitasi alam secara besar-besaran, yang mekanisme
ini terselimuti oleh berbagai pantangan dengan sanksi-sanksi moral dan keagamaan,
sehingga keadaan lingkungan alam dan fisik relative stabil dalam suatu jangka
waktu yang cukup lama.
Dalam masyarakat yang sedang
mengalami proses perubahan kebudayaan yang berlaku secara besar-besaran dan
cepat, hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan fisiknya menjadi
lebih intensif sehingga lingkungan sebagai suatu sistem terganggu
keseimbangannya. Hal ini dapat mungkin terjadi karena: (1) penekanan yang ada
dalam kebudayaan tersebut adalah pada usaha untuk menaikkan tingkat
kesejahteraan hidup baik secara kualitas maupun secara kuantitas, yang
mempunyai efek sampingan kepada berkembangnya sifat rakus untuk mengeksploitasi
sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungannya semaksimal mungkin. Kerakusan
dapat berkembang karena kebudayaan yang dipunyai oleh para warga masyarakat
sebagai suatu kesatuan sudah terpecah-belah dalam hal mana unsur mekanisme
control hubungan antara manusia dengan lingkungannya yang terdapat secara
terselubung dalam kebudayaan menjadi tidak berlaku lagi, khususnya mekanisme
control yang mempunyai sanksi moral dan keagamaan; (2) penekanan pada hal-hal
yang rasional amat dilebih-lebihkan, yaitu hubungan sebab akibat antara
gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya secara obyektif dan empiris, yang
membawa akibat sampingan bahwa tempat-tempat angker dan upacara-upacara
berkenaan dengan kepercayaan akan adanya makhluk-makhluk gaib di sawah, di
hutan, di tempat-tempat tertentu, menjadi tidak ada lagi. Ketiadaan
tempat-tempat tersebut disebabkan bahwa kepercayaan yang berkenaan dengan
tempat-tempat tersebut dianggap sebagai tahyul-kepercayaan daripada orang
bodoh, atau juga dianggap sebagai menduakan Tuhan bagi penganut agama-agama
besar yang berusaha untuk memurnikan ajaran agamanya. Padahal secara tidak
langsung adanya kepercayaan tersebut merupakan mekanisme control yang
terselubung dalam kebudayaan untuk manusia tidak menghabiskan sama sekali
sumber-sumber daya yang ada dalam lingkungannya supaya keseimbangan lingkungan
tersebut dapat dipertahankan; (3) kewibawaan makhluk-makhluk halus yang
menghuni tempat-tempat angker tersebut dalam pengamatan manusia yang
bersangkutan ternya tidak dapat dipertahankan dalam melawan teknologi modern.
Hutan rimba belantara yang penuh dengan berbagai makhluk halus yang menunggunya
dan yang siap untuk menghancurkan manusia yang merusaknya ternyata tidak dapat
melawan traktor-traktor besar dan berbagai mesin yang membabatnya. Hilanglah
sudah kekuasaan para makhuk halus tersebut dalam memberikan rasa takut kepada
manusia untuk merusak alam lingkungannya.
Penutup
Yang
telah diuraikan dalam tulisan ini adalah peranan kebudayaan dalam menjembatani
hubungan antara manusia dengan lingkungan alam dan fisiknya. Dalam proses ini
peranan kebudayaan amat menentukan tingkat kesanggupan adaptasi manusia, dan dalam
meningkatkan taraf kesejahteraan hidupnya. Dalam uraian ini factor-faktor
lingkungan dan kebudayaan dilihat sebagai suatu bagian dari suatu sistem yang
satu yang saling berkaitan dan saling pengaruh-mempengaruhi, sejalan dengan
pendekatan yang dilakukan oleh Geertz (1968: 9-10) dalam uraianya mengenai
kebudayaan sawah dari petani Jawa.
Dalam uraian ini juga diperhatikan
bahwa lingkungan alam dan fisik tidaklah dilihat sebagai suatu benda alamiah
oleh para warga masyarakat yang hidup di dalamnya, tetapi sebagai suatu hasil
kebudayaan; sebagaimana dikemukakan oleh Edmund Leach (1965: 25, 37-38),
sebagai berikut:
“The
environment is not a natural thing; it is a set of interrelated percepts, a
product of culture. What this environment is, is not discoverable objectively;
it is a matter of perception. The relation between a society and its
environment can be understood only when we see how the environment is organized
in terms of the verbal categories of those who use it.”
Sebagai akhir kata, mungkin ada baiknya
juga kalau pernyataan Leach tersebut di atas kita kaji dalam kaitannya dengan
beberapa kegagalan kebijaksanaan kelestarian lingkungan yang digariskan oleh
pemerintah. Baik yang berkenaan dengan masalah hutan sampai dengan masalah
nampak industri yang pada masa akhir-akhir ini diberitakan di berbagai surat
kabar di Indonesia akibat-akibat yang sampingannya telah dirasakan oleh para
warga masyarakat setempat. Pengkajian mungkin akan lebih membawa hasil kalau
sekiranya melihat perubahan dalam lingkungan, yang akan membawa hasil yang
cukup mengerikan dalam jangka panjang bagi manusia Indonesia khususnya, dengan
melihatnya sebagai hasil dari perubahan kebudayaan yang sedang dengan cepat dan
secara besar-besaran dialami oleh Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment