Para petani ini tergabung dalam kelompok Tani Dayu Sindoro yang diketuai oleh Surjadi. Anggotanya sendiri terdiri dari 60 orang, namun yang aktif hanya 45 orang. Mereka mengelola sebuah kebun yang terbentang hingga 200 hektar. Dari total luas tersebut, baru seperempat lahan saja yang siap dipanen.
Biasanya panen kopi di Sindoro berlangsung dari bulan April hingga Juli. Di setiap hektar, para petani bisa menanam 7.00 hingga 1.000 batang pohon kopi dan setiap pohon bisa menghasilkan 4 hingga 6 kilo kopi merah.
Uniknya, mayoritas petani di Sindoro bukan petani kopi. Tujuan utama ditanamnya kopi yaitu untuk mencegah erosi. Mereka menanam tanaman semusim dengan pola tanam telahap, dimana biasanya mereka selalu melakukan rotasi tanam tembakau, jagung dan kopi. Akar tanaman kopi yang tumbuh cukup mendalam, dinilai kuat sehingga mampu mencegah pengikisan tanah. Selain itu, pola tanam telahap juga dilakukan agar perekonomian para petani bisa lebih stabil dan berlanjut.
Walaupun daerah kaki Sindoro telah menanam kopi sejak zaman pendudukan Belanda, para petani merasa tanaman kopi kurang menguntungkan karena hanya panen sekali dalam satu tahun. Baru pada tahun 1999, mereka mulai membudidayakan tanaman kopi kembali.
Setelah selesai memanen, kopi-kopi yang telah terkumpul akan dijual dalam bentuk gelondong. Satu kilonya dihargai mulai Rp 5.000 hingga Rp 5.500. Kemudian kopi-kopi tersebut akan diproses di tempat pengolahan desa.
Sebelumnya lahan kebun digunakan untuk tanaman tembakau, sehingga rasa kopi dari hasil kebun itu pasti memiliki keunikan tersendiri. Itulah kisah menarik para petani kelompak Tani Dayu Sindoro.
0 komentar:
Post a Comment