Melalui statusnya, seorang teman mengabarkan sedang menikmati makan siang di sebuah resto. Tidak lupa dia menginformasikan jenis masakan yang akan segera disantap bersama kawan-kawannya. Status tersebut segera mendapat tanggapan dari teman-temannya. Isinya bermacam-macam, dari permintaan dibungkuskan, menilai resto tersebut, termasuk menyoal pelayan resto tersebut yang katanya aduhai, dan sebagainya.
Di dunia lain, beberapa stasiun televisi juga agresif menyiarkan acara berbasis kuliner. Artis yang dihadirkan sangat mempesona, cantik, ganteng, termasuk juga yang memamerkan bagian tubuh yang dianggap indah. Itu semua untuk mendongkrak rating acara kuliner yang berlangsung. Tidak juga media cetak juga aktif memaparkan lokasi-lokasi makan enak, mau pilih ikan, daging, sayuran, es cendol, termasuk resep-resep ampuhnya.
Kuliner, bukan sekedar makan atau minum, tapi identitas yang ingin ditegaskan oleh individu. Tidak heran, individu akan bangga mengabarkan bahwa dia sedang melahap masakan yang dianggap unik, wah atau identitas lain yang dianggap punya nilai lebih. Dulu kita mengenal istilah empat sehat lima sempurna, nampaknya itu tidak berlaku lagi. Jualan paling laris adalah sensasi resep atau lokasi, bukan sekedar makanan itu sehat atau lengkap.
Jangan heran pula kalau ada beberapa teman rela merogoh koceknya dalam-dalam untuk sekedar menikmati satu potong iga bakar, padahal kalau beli di tempat umum, harganya bisa 15 kali lipat lebih murah, toh itu dianggap wajar, karena harga bukan hanya ditentukan oleh biaya produksi, tapi juga oleh citarasa dan selera.
Kuliner, menjadi magnit kuat mendorong perubahan gaya hidup seseorang, karena sekarang kita hidup di negeri kuliner
Mar 31, 2012
Republik Kuliner
11:47 PM
Muh. Sholeh
0 komentar:
Post a Comment