Jan 21, 2012

IMPLEMENTASI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL (CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING) PADA MATERI PENGINDERAAN JAUH

Oleh Muh. Sholeh

ABSTRAK
Tujuan penulisan ini adalah mendeskripsikan konsep dasar pembelajaran kontekstual, penginderaan jauh, dan implementasi pembelajaran kontekstual pada materi penginderaan jauh. CTL merupakan salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran di kelas untuk memberi efek pengalaman belajar optimal kepada siswa. Hal tersebut dapat dipahami karena di dalam CTL melibatkan tujuh komponen utama, yaitu constructivisme (membangun), questioning (bertanya), inquiry (mencari), learning community (masyarakat belajar), modelling (pemodelan), reflection (umpan balik), dan authentic assessment (penilaian sebenarnya).
Kegiatan belajar materi inderaja di menara MAJT nampaknya sangat sederhana karena yang muncul adalah kesan bermain, santai berpotret ria dan kegiatan ringan lain. Namun demikian, jika dikaitkan dengan karakteristik CTL, kegiatan tersebut merupakan salah satu contoh bentuk pembelajaran kontekstual.
Sebab dalam pemanfaatan MAJT siswa secara nyata berhadapan dengan dunia kehidupan yang betul-betul ada. Melalui pembelajaran tersebut komponen pembelajaran kontekstual yang terdiri dari constructivisme, questioning, inquiry, learning community, modelling, reflection, dan authentic assessment dapat diwujudkan.
Kata Kunci: Pembelajaran Kontekstual, Penginderaan Jauh

Pendahuluan
Salah satu topik hangat dibidang pengajaran adalah wacana mengenai pembelajaran kontekstual (Contextual Teching and Learning/CTL), yaitu menghubungkan materi pelajaran dengan dunia nyata siswa. Topik ini menghangat seiring dengan kebijakan perubahan kurikulum yang mengedepankan kompetensi, Kompetensi menurut Moh Arsyad (2007) didefinisikan sebagai kemampuan siswa mengaplikasikan semua materi pelajaran dalam kehidupan mereka sehingga memungkinkan siswa mampu berkiprah dengan baik dalam hidupnya.
Namun demikian, sebenarnya pembelajaran kontekstual sejujurnya sudah lama jadi bahan pembicaraan guru-guru, khususnya pada forum-forum informal. Keluhan tentang kemampuan siswa yang hanya mengedepankan aspek kognitif saja, lulusan sekolah dengan nilai bagus kesulitan mendapat pekerjaan, atau munculnya istilah verbalisme, merupakan cerminan obyektif yang menunjukkan pembelajaran kontekstual sebenarnya sudah muncul di kawasan diskusi. Hanya saja suara-suara tersebut belum mampu keluar ke ruang publik, sehingga seolah-olah wacana pembelajaran kontektual merupakan wacana baru.
Sengatan wacana pembelajaran kontekstual terasa di hampir seluruh mata pelajaran, termasuk mata pelajaran geografi. Guru geografi juga dituntut mampu melaksanakan pembelajaran kontekstual agar siswa mampu mengkaitkan antara materi yang diterima dengan kehidupan nyata. Seluruh materi geografi tak terkecuali materi penginderaan jauh (inderaja) harus didekatkan dengan dunia nyata supaya pengetahuan dapat terbangun oleh siswa melalui pengalaman yang mereka terima.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa inderaja bagi sebagian guru masih dianggap sebagai materi yang sulit dan menjadi salah satu faktor kesulitan mendorong siswa mencintai materi geografi. Bayangan tentang proses pembelajaran yang harus menggunakan media high-tech menjadi salah satu faktor tidak optimalnya pembelajaran materi inderaja. Padalah inderaja diharapkan menjadi salah satu jendela agar siswa mencintai materi geografi.
Pertanyaan yang muncul adalah, mungkinkah pembelajaran kontekstual dapat diimplementasikan pada materi inderaja? Pertanyaan tersebut sederhana, mudah, tapi butuh kemauan untuk melaksanakan.

Permasalahan
Berdasarkan paparan tersebut, permasalahan yang di kemukakan dalam tulisan ini adalah bagaimana implementasi pembelajaran kontesktual pada materi penginderaan jauh?
Pembahasan
1.    Deskripsi Tentang Pembelajaran Kontektual
Belajar inderaja diharapkan mampu memberi pengalaman berkesan bagi siswa. Untuk itu proses pembelajaran tidak hanya menyertakan otak atau kemampuan kognitif, tetapi tangan, kaki, mata, dan indera lain juga terlibat secara aktif sehingga kebermaknaan pengalaman belajar betul-betul dirasakan siswa. Wina Sanjaya (2008) mendefinisikan pengalaman belajar (learning experiences) sebagai sejumlah aktivitas siswa yang dilakukan untuk memperoleh informasi dan kompetensi baru sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Ada delapan tipe pengalaman belajar yang digagas oleh Gagne (1991), yaitu:
a.    Belajar signal, yaitu belajar melalui isyarat atau tanda.
b.    Belajar mereaksi perangsang melalui penguatan, yaitu pengalaman belajar yang terarah.
c.    Pengalaman belajar yang membentuk rangkaian (chaining), yaitu belajar merangkai atau menghubungkan gejala atau faktor sehingga menjadi satu kesatuan rangkaian yang utuh.
d.    Belajar asosiasi verbal, yaitu pengalaman belajar dengan kata-kata manakala menerima perangsang.
e.    Belajar membedakan atau deskriminasi, yakni pengalaman belajar mengenal sesuatu karena ciri-ciri yang memiliki kekhasan tertentu.
f.    Belajar konsep, yaitu pengalaman belajar dengan menentukan ciri atau atribut dari objek yang dipelajarinya sehingga objek tersebut ditempatkan dalam klasifikasi tertentu.
g.    Belajar aturan atau hukum, yaitu pengalaman belajar dengan menghubungkan konsep-konsep.
h.    Belajar problem solving, yaitu pengalaman belajar untuk memecahkan sesuatu persoalan melalui penggabungan beberapa kaidah atau aturan.
Pengalaman belajar menurut Jean Piaget berlangsung dalam diri individu melalui proses konstruksi pengetahuan. Pengetahuan bukanlah hasil pemberian dari orang lain seperti gurunya, akan tetapi hasil dari proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu melalui aktivitas belajar yang melibatkan individu secara utuh melalui pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning atau CTL).
CTL adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi pembelajaran dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika ia belajar. Belajar tidak hanya menghafal, tetapi merekonstruksi atau membangun pengetahuan dan keterampilan baru lewat fakta-fakta atau proposisi yang mereka alami dalam kehidupannya.
Center for Occupational Research (COR) menjabarkan CTL menjadi lima konsep bawahan, yaitu relating, experiencing, applying, coorperating, dan transferring. Kelima konsep tersebut jika dipaparkan secara detail akan mencerminkan karakteristik CTL, yaitu:
a.    Pembelajaran dilaksanakan dilaksanakan dalam konteks autentik yang yang mengarah pada ketercapaian keterampilan dalam kehidupan nyata.
b.    Pembelajaran memberikan kesempatan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas yang bermakna.
c.    Pembelajaran dilaksanakan dengan memberikan pengalaman bermakna kepada siswa.
d.    Pembelajaran dilaksanakan melalui kerja kelompok, berdiskusi, dan saling mengoreksi.
e.    Pembelajaran memberikan kesempatan untuk menciptakan rasa kebersamaan, bekerja sama, dan saling memahami antar satu dengan lain secara mendalam.
f.    Pembelajaran dilaksanakan secara aktif, kreatif, produktif, dan mementingkan kerja sama.
g.    Pembelajaran dilaksanakan dalam situasi yang menyenangkan.
Kata kunci yang melekat sebagai karakteristk CTL menurut Nurhadi (2002) adalah kerja sama, saling menunjang, menyenangkan, belajar dengan gairah, pembelajaran terintegrasi, menggunakan berbagai sumber, siswa aktif, sharing dengan teman, siswa kritis, dan guru kreatif.
CTL merupakan salah satu pendekatan yang direkomendasikan untuk dilaksanakan dalam pembelajaran di kelas untuk memberi efek pengalaman belajar optimal kepada siswa. Hal tersebut dapat dipahami karena di dalam CTL melibatkan tujuh komponen utama, yaitu constructivisme (membangun), questioning (bertanya), inquiry (mencari), learning community (masyarakat belajar), modelling (pemodelan), reflection (umpan balik), dan authentic assessment (penilaian sebenarnya).
Chaedar Al Wasilah (2008) menawarkan tujuh strategi yang harus dilaksanakan dalam pembelajaran CTL, yaitu pengajaran berbasis problem, menggunakan konteks yang beragam, mempertimbangkan kebinekaan siswa, memberdayakan siswa untuk belajar sendiri, belajar melalui kolaborasi, menggunakan penilaian autentik, dan mengejar standar tinggi.
Mengajarkan materi inderaja dapat menggunakan pendekatan CTL. Agar CTL berlangsung dengan baik, John A. Zahorik (1995) dalam Masnur Muslich (2008) mengingatkan beberapa elemen yang harus diperhatikan oleh guru, yaitu:
a.    Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge).
b.    Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian mempelajari detailnya.
c.    Pemahaman pengetahuan dengan cara menyusun konsep sementara, melakukan sharing kepada orang lain, dan mengembangkan konsep tersebut.
d.    Mempraktikan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge).
e.    Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut.
2.    Konsep Dasar Inderaja dan Kedudukannya dalam KTSP
Definisi tentang penginderaan jauh (inderaja) lebih menekankan pada dua aspek mendasar, yaitu seni di satu sisi dan teknik pada sisi yang lain. Lillesand dan Kiefer (1979) mendefinisikan inderaja (remote sensing) sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena dengan jalan analisis data yang diperoleh melalui alat perekam (sensor) yang menggunakan gelombang elektromagnetik sebagai media perantaranya tanpa menyentuh obyek.
Menurut Lindgren (1985) inderaja yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut khusus berbentuk radiasi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi. Inderaja (remote sensing) adalah penggunaan sensor radiasi elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat diintepretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna (Curran, 1985).
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat dinyatakan bahwa inderaja adalah ilmu, seni, dan teknik untuk mendapat informasi permukaan bumi dengan cara menganalisis gambaran permukaan bumi tanpa kontak langsung dengan obyek permukaan bumi tersebut. Inderaja dalam kehidupan sehari-hari dapat dideskripsikan sebagai pengamatan terhadap objek oleh seseorang, dimana orang tersebut tidak menyentuh objek secara langsung.
Jika seseorang berada di atas permukaan bumi, maka dia akan melihat bagaimana kondisi permukaan bumi. Dia dapat menyaksikan deretan pohon, rumah, dan objek lain yang kebetulan dia amati. Namun demikian jika dia tidak melakukan analisis terhadap apa yang telah diamati, maka proses definisi inderaja jauh tidak langkap karena deskripsi inderaja adalah ilmu, seni dan teknik yang menggabungkan antara perasaan, analisis dan penarikan kesimpulan terhadap objek permukaan bumi tanpa kontak secara langsung.
Dalam inderaja, terdapat beberapa komponen yang saling berhubungan, yaitu tenaga, atmosfer, objek, interaksi tenaga dengan objek, sensor, perolehan data, dan pengguna. Komponen-komponen tersebut mempunyai keterkaitan yang saling menguatkan sehingga inderaja sebagai ilmu, seni, dan teknik dapat memberi manfaat bagi proses pembangunan, khususnya dibidang pengelolaan ruang permukaan bumi.
Secara umum hasil teknologi inderaja dibedakan menjadi dua, yaitu citra foto dan citra non foto. Citra foto merupakan hasil teknologi inderaja yang berupa data visual. Citra foto dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
a.    Berdasarkan spektrum elektromagnetik, terdiri dari foto ultraviolet, foto ortokromatik, foto nonkromatik, foto inframerah asli, dan foto inframerah modifikasi.
b.    Berdasarkan sistem wahana yang digunakan, terdiri dari foto udara dan citra satelit atau orbithal.
c.    Berdasarkan jumlah dan jenis kamera yang digunakan, terdiri dari foto tunggal dan foto jamak.
d.    Berdasarkan sumbu kamera, terdiri dari foto vertikal, foto agak condong,dan  foto sangat condong.
e.    Berdasarkan warna yang digunakan, terdiri dari foto warna semu (false color), dan foto warna asli (true color).
Citra non-foto adalah gambaran yang dihasilkan dengan menggunakan sensor bukan kamera. Citra non-foto dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu:
a.    Berdasarkan spektrum elektromagnetik yang digunakan, terdiri dari citra inframerah termal dan citra gelombang mikro.
b.    Berdasarkan sumber sensor yang digunakan, terdiri dari citra tunggal dan citra multispectral.
c.    Berdasarkan wahana yang digunakan, terdiri dari citra dirgantara dan citra satelit.
Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi dan Kompetensi Dasar dinyatakan bahwa mata pelajaran Geografi diharapkan mampu mendorong peserta didik untuk memahami aspek dan proses fisik yang membentuk pola muka bumi, karakteristik dan persebaran spasial ekologis di permukaan bumi. Selain itu peserta didik dimotivasi secara aktif dan kreatif untuk menelaah bahwa kebudayaan dan pengalaman  mempengaruhi persepsi manusia  tentang tempat dan wilayah.
Pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperoleh dalam mata pelajaran Geografi diharapkan dapat membangun kemampuan peserta didik untuk bersikap, bertindak cerdas, arif, dan bertanggungjawab dalam menghadapi masalah sosial, ekonomi, dan ekologis. Pada tingkat pendidikan dasar mata pelajaran Geografi diberikan sebagai bagian integral dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), sedangkan pada tingkat pendidikan menengah diberikan sebagai mata pelajaran tersendiri.
Tujuan mata pelajaran Geografi adalah agar peserta didik memiliki kemampuan a) memahami pola spasial, lingkungan dan kewilayahan serta proses yang berkaitan, b) menguasai keterampilan dasar dalam memperoleh data dan informasi, mengkomunikasikan dan menerapkan pengetahuan geografi, dan c) menampilkan perilaku peduli terhadap lingkungan hidup dan memanfaatkan sumber daya alam secara arif serta memiliki toleransi terhadap keragaman budaya masyarakat.
Salah satu ruang lingkup mata pelajaran Geografi adalah pengetahuan dan keterampilan dasar tentang seluk beluk dan pemanfaatan peta, Sistem Informasi Geografis (SIG) dan citra penginderaan jauh. Adapun materi inderaja diberikan kepada siswa kelas XII Program Ilmu Sosial.
3.    Implementasi Pembelajaran Kontekstual Pada Materi Inderaja
Bagi siswa SMA, khususnya kelas XII Program Ilmu Sosial, inderaja tidak sekedar media pembelajaran, tetapi secara khusus siswa diajak untuk mengenal tentang inderaja. Siswa diajak untuk mengetahui sisi konsep, sistem kerja, sampai bagaimana melakukan intepretasi terhadap produk inderaja. Siswa dituntut mampu membedakan antara gedung sekolah dengan kantor pemerintahan, antara semak-semak dengan perkebunan tebu, dan sebagainya. Pada gilirannya, guru dituntut cerdas menyampaikan materi inderaja menggunakan pendekatan sederhana, tidak rumit, mudah dipahami, murah, ringan, menyenangkan, dan bermakna bagi siswa.
Dilihat dari materinya dapat dinyatakan bahwa inderaja bersifat teknis dan cenderung kearah ilmu-ilmu teknik, sehingga jika diberikan kepada siswa program ilmu sosial sebenarnya mengandung kekhawatiran. Kekhawatiran yang muncul adalah pertama, siswa kesulitan memahami konsep dasar inderaja, apalagi menerapkan atau mempraktekannya. Harus diakui materi inderaja cukup sulit, dan materi ini relatif baru, dimana tidak semua guru geografi pernah menerima. Jika materi tersebut lebih bersifat teknik, maka semangat anak sosial pasti terbatas, karena materi ini dianggap bukan wilayah belajar mereka.
Kedua, materi ini membutuhkan visualisasi yang cukup. Tidak semua sekolah mempunyai contoh yang pas untuk menjelaskan materi tersebut. Citra satelit sebagai salah satu contoh inderaja tidak semua dimiliki oleh siswa, sehingga guru dituntut kerja ekstra untuk menjelaskan materi tersebut kepada siswa. Dapat dibayangkan bagaimana guru menjelaskan konsep inderaja kepada siswa program Ilmu Sosial tanpa peralatan yang memadai.
Namun demikian ada celah yang bisa dilakukan oleh guru geografi dalam menyampaikan materi inderaja dengan pendekatan kontekstual. Baik karakteristik, komponen, maupun strategi yang ditempuh, pembelajaran kontekstual tidak mensyaratkan penggunaan teknologi atau peralatan yang rumit. Guru hanya dituntut cerdas dalam menggali sumber belajar yang ada disekitarnya. Menurut Winataputra, sumber belajar terdiri dari manusia, buku/perpustakaan, media massa, alam lingkungan, dan media pendidikan.
Bagi guru-guru yang mengajar SMA di Kota Semarang dan sekitarnya, penggunaan menara Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk melaksanakan pembelajaran kontekstual. Pertimbangan sederhananya adalah menara MAJT punya ketinggian 99 meter dan terbuka bagi masyarakat umum untuk melihat landascape Kota Semarang.
Dari menara tersebut bentanglahan sebagian Kota Semarang dapat diamati secara jelas. Lekuk Sungai Banjir Kanal Timur terlihat jelas, pusat-pusat pemukiman di sekitar menara juga dapat dilihat dengan jelas. Penggunaan lahan juga dapat dilihat dengan mata telanjang. Ini karena ketinggian menara mampu mendukung pandangan pengunjung. Inilah prasyarat sebagai pendukung pembelajaran kontekstual, yaitu mengkaitkan antara materi pelajaran dengan kehidupan sebenarnya. Di tempat ini siswa dapat menyaksikan landscape Kota Semarang, kemudian dapat membandingkan dengan ketika siswa melihat contoh inderaja berupa citra satelit dan foto udara.
Ada beberapa tahap yang harus ditempuh dalam pembelajaran kontekstual pada materi inderaja menggunakan media menara MAJT, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan. Persiapan merupakan serangkaian kegiatan berupa perencanaan yang dilakukan guru dan siswa untuk menyusun kegiatan yang akan dilakukan. Pada tahapan ini direncanakan waktu, siswa yang terlibat, pembagian kelompok, tugas-tugas yang harus dikerjakan, peralatan yang dipersiapkan, sampai dana yang dibutuhkan.
Tahap berikutnya adalah pelaksanaan. Pada tahap ini siswa sudah dibagi menjadi beberapa kelompok yang masing-masing anggotanya sudah mempunyai tugas dan tanggungjawab masing-masing, selanjutnya siswa dipersilahkan untuk melakukan kegiatan masing-masing, yaitu:
a.    Masing-masing kelompok berkoordinasi. Segala perlengkapan diperiksa untuk memastikan seluruh anggota dapat mengambil gambar/ memotret landscape Kota Semarang dari menara MAJT.
b.    Secara bergiliran masing-masing kelompok mengambil gambar landscape Kota Semarang baik arah utara, timur, selatan, maupun barat dari posisi menara. Sebagian siswa juga dipersilahkan untuk melakukan pengamatan dan mencatat segala sesuatu yang dianggap penting.
c.    Masing-masing kelompok berkumpul untuk mendiskusikan kegiatan yang telah dilakukan.
Tahap ketiga adalah tahap pasca pelaksanaan. Pada tahap ini ada dua alternatif yang dapat dilakukan. Pertama, gambar pemotretan yang telah dilakukan oleh siswa dipilih, dicetak, dianalisis, dan dibuat peta sederhana tentang penggunaan lahan Kota Semarang. Kemudian siswa ditugaskan membuat intepretasi dalam bentuk deskripsi terhadap landscape Kota Semarang. Tugas tersebut tetap dilaksanakan oleh masing-masing kelompok.
Kedua, Secara berkelompok siswa langsung diberi penugasan untuk membuat intepretasi dalam bentuk deskripsi berdasarkan pengamatan yang dilakukan dari menara MAJT. Tugas tersebut tetap dilaksanakan oleh masing-masing kelompok.
Kegiatan belajar materi inderaja di menara MAJT nampaknya sangat sederhana karena yang muncul adalah kesan bermain, santai berpotret ria dan kegiatan ringan lain. Namun demikian, jika dikaitkan dengan karakteristik CTL, kegiatan tersebut merupakan salah satu contoh bentuk pembelajaran yang berusaha memanfaatkan lingkungan sekitar untuk mempelajari materi inderaja.
Komponen utama CTL yang berupa constructivisme (membangun) dapat ditemukan ketika secara aktif siswa terlibat dalam kegiatan perencanaan, pengambilan gambar, mengamati landscape Kota Semarang, dan mendeskripsikan hasil pengamatan. Komponen questioning (bertanya), dapat ditemukan dari hasil perbincangan antar siswa maupun antara siswa dengan guru. Siswa yang melakukan pengamatan punya kesempatan untuk bertanya kepada guru. Komponen inquiry (mencari), terwujud pada saat siswa melakukan pemotretan atau pengambilan gambar dan melalui pengamatan, dimana siswa akan menemukan hal-hal baru yang sebelumnya belum pernah diketahui.
Komponen learning community (masyarakat belajar) ditemukan pada saat siswa bersama-sama bekerja dalam satu kelompok. Melalui kegiatan pengamatan tukar informasi akan berlangsung, baik antar siswa maupun siswa dengan guru. Komponen modelling (pemodelan) tergali ketika guru memberikan beberapa tugas dan arahan, kemudian siswa melakukan kegiatan yang telah direncanakan.
Komponen reflection (umpan balik) secara nyata akan muncul manakala siswa bertanya kepada guru tentang fenomena yang diamati. Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan dijawab oleh guru, sehingga komunikasi dua arah akan terbangun dengan baik. Sementara komponen authentic assessment (penilaian) sebenarnya dapat dilakukan oleh guru berdasarkan partisipasi siswa dalam melaksanakan kegiatan, dan pengamatan yang dilakukan terhadap hasil pekerjaan siswa. Guru juga dapat melakukan tanya jawab untuk menggali hasil kegiatan tersebut sebagai modal melakukan penilaian autentik.
Penutup
Belajar inderaja diharapkan mampu memberi pengalaman berkesan bagi siswa. Untuk itu proses pembelajaran tidak hanya menyertakan otak atau kemampuan kognitif, tetapi tangan, kaki, mata, dan indera lain juga terlibat secara aktif sehingga kebermaknaan pengalaman belajar betul-betul dirasakan siswa. Untuk itulah perlu dilaksanakan pembelajaran kontekstual. Pembelajaran kontekstual bukan teks yang tidak bisa dimodifikasi. Pembelajaran kontekstual memberi ruang kreatifitas kepada guru untuk mengembangkan pembelajaran dari teoritis menjadi praktis, dari membosankan menjadi menyenangkan, dari berbasis individu ke kelompok.
Guru adalah dalang yang baik, artinya segala keterbatasan yang ada tidak menjadi alasan untuk melaksanakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa. Dalam pembelajaran geografi, pemanfaatan MAJT sebagai sumber belajar belajar adalah alternatif pembelajaran yang perlu dipertimbangkan dalam melaksanakan pembelajaran kontekstual sehingga mendukung siswa lebih mudah memahami, khususnya materi inderaja. Sebab dalam pemanfaatan MAJT siswa secara nyata berhadapan dengan dunia kehidupan yang betul-betul ada. Melalui pembelajaran tersebut komponen pembelajaran kontekstual yang terdiri dari constructivisme, questioning, inquiry, learning community, modelling, reflection, dan authentic assessment dapat diwujudkan.

Daftar Pustaka
Elaine. B. Johnson. 2008. Contextual Teaching and Learning: Menjadikan Kegiatan belajar mengajar Mengasikkan dan Bermakna.Bandung. MLC
Isjoni, dkk. 2007. Pembelajaran Visioner: perpaduan Indonesia Malaysia. Yogyakarta. Pustaka Pelajar
Masnur Muslich. 2008. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual: Panduan bagi Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah. Jakarta. Bumi Aksara
Mulyadi, K, dkk. 2007. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra: Buku Pengantar Penginderaan Jauh Bagi Kalangan Pendidik, Praktisi dan Ilmuwan Berbagai Bidang.Semarang. LAPAN-Geografi Unnes
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi dan Standar Kompetensi
Sutanto. 1994. Penginderaan Jauh Jilid 1 (revisi). Yogyakarta. Gajah Mada University Press
Wina Sanjaya. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta. Kencana

0 komentar:

Post a Comment

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design