May 18, 2016

Pembelajaran Geografi Berbasis Kecerdasan Lokal Untuk Menumbuhkan Literasi Geografi

Pendahuluan
Di salah satu media online nasional pernah diberitakan salah seorang menteritidak tepat menyebutkan lokasi kabupaten di provinsi tertentu ketika terjadi bencana tanah lonsor. Kesalahan tersebut diketahui dari twiter yang ditulis beliau saat menyampaikan ucapan belasungkawa. Kesalahan tersebut mendapat respon beragam dari masyarakat. Ketidaktepatan menteri menyebut lokasi bisa disebabkan oleh dua hal, pertama karena salah menulis atau lupa, kedua karena benar-benar tidak tahu. Pada peristiwa lain, banyak dari siswa terlambat masuk kelas dengan alasan hujan, karena saat itu sedang musim hujan.
Kesalahan menyebut lokasi dan terlambat masuk kelas karena hujan menjadi salah satu indikator bahwa kesadaran keruangan masyarakat perlu ditingkatkan sebagai salah satu persyaratan masyarakat mencintai linkungan. Saat musim hujan seharusnya siswa melengkapi diri dengan payung atau jas hujan agar tidak terhambat aktivitasnya. Faktanya, banyak yang tidak peduli mensikapi kondisi cuaca.
Fenomena sehari-hari telah direspon masyarakat terdahulu melalui "ilmu titen" yang berlangsung lama sehingga menghasilkan pengetahuan sebagai wujud kecerdasan lokal.

Kecerdasan Lokal dalam Pembelajaran
Kecerdasan lokal bisa juga dimaknai sebagai kearifan lokal yang mendeskripsikan sifat-sifat lokal yang menunjukkan kearifan, kebijaksanaan, penuh nilai, diyakini dan dipertahankan masyarakat setempat, dan dianggap mempunyai kelebihan dan keluwesan dalam menghadapi tantangan lingkungan fisik dan sosial. Lokal berarti setempat, sedangkan arif dimaknai sebagai kebaikan, kebijaksanaan, keutamaan dan istilah lain yang mempunyai makna positif sebagai branding yang membedakan dengan daerah lain. Kita akan menemukan bentuk-bentuk aktivitas masyarakat yang bersifat khas, unik, dan berbeda dengan daerah lain sebagai tetenger wilayah tertentu. Semakin unik daerah tersebut akan semakin mampu mencitrakan diri sebagai daerah yang penuh nilai-nilai keluhuran. Keunikan tersebut muncul karena nilai-nilai yang muncul di daerah tersebut senantiasa disimpan, dijaga, dan diimplementasikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, baik terwujud dalam pemikiran, aktivitas, maupun artefak yang dapat dideteksi.
Kecerdasan lokal lokal muncul karena respon manusia terhadap tantangan alam yang beragam, dimana bisa saja satu fenomena yang sama direspon dengan cara beragam sehingga menghasilkan identitas kultural masyarakat yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat dan aturan khusus yang telah teruji kemampuannya sehingga dapat bertahan secara terus menerus. Kearifan lokal pada prinsipnya benilai baik dan merupakan keunggulan budaya masyarakat setempat dan berkaitan dengan kondisi geografis secara luas. Menurut Keraf (2002), kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis.
Menurut Wagiran (2012), kearifan lokal dalam bahasa asing sering dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan setempat (local knowledge) atau kecerdasan setempat (local genious). Kearifan lokal juga dapat dimaknai sebuah pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan memuat hal-hal positif. Kearifan lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia. Lantaran itu, kearifan lokal merupakan perwujudan dari daya tahan dan daya tumbuh yang dimanifestasikan melalui pandangan hidup, pengetahuan, dan pelbagai strategi kehidupan yang berupa aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, sekaligus memelihara kebudayaannya. Dalam pengertian inilah kearifan lokal sebagai jawaban untuk bertahan dan menumbuhkan secara berkelanjutan kebudayaan yang didukungnya.
Setiap masyarakat termasuk masyarakat tradisional, dalam konteks kecerdasan lokal seperti itu, pada dasarnya terdapat suatu proses untuk menjadi pintar dan berpengetahuan. Hal itu berkaitan dengan adanya keinginan agar dapat mempertahankan dan melangsungkan kehidupan, sehingga warga masyarakat secara spontan memikirkan cara-cara untuk melakukan, membuat, dan menciptakan sesuatu yang diperlukan dalam mengolah sumber daya alam demi menjamin keberlangsungan dan ketersedianya sumber daya alam tanpa mengganggu keseimbangan alam.
Dalam proses tersebut suatu penemuan yang sangat berharga dapat terjadi tanpa disengaja. Artinya, setiap warga masyarakat dapat menghimpun semua informasi, mengingat secara komunal dan melestarikannya, serta mewariskannya turun temurun sebagai upaya melangsungkan kehidupannya. Sejalan dengan perubahan budaya yang menerpa kehidupan masyarakat, masyarakat juga secara perlahan mengembangkan pengetahuan yang telah diwariskan, dan kemudian menciptakan metode untuk membangun pengetahuan. Penciptaan pengetahuan itu pada dasarnya merupakan cara-cara atau teknologi asli (indigenous ways) guna mendayagunakan sumber daya alam bagi kelangsungan kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu, masyarakat mengembangkan suatu sistem pengetahuan dan teknologi yang asli (indigenous or local knowledge), yang mencakup berbagai macam cara untuk mengatasi kehidupan, seperti kesehatan, pangan dan pengolahan pangan, serta konservasi tanah.
Kecerdasan lokal yang sedemikian itu, umumnya berbentuk tradisi lisan, dan lebih banyak berkembang di daerah perdesaan. Pengetahuan itu dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan dan nilai-nilai yang dihayati di dalam masyarakatnya. Karena itu, pengetahuan lokal menjadi bagian dari cara hidup mereka yang arif, agar dapat memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka hadapi, sehingga mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan, dapat berkembang secara berkelanjutan.
Kecerdasan lokal merupakan produk budaya yang keberadaannya tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan masyarakat. Budaya adalah hasil cipta, rasa, dan karsa yang bersumber pada kepekaan manusia menjawab tantangan lingkungan sekitar untuk tetap bertahan dan mengembangkan kemampuan kesejahteraan. Dengan kemampuan berpikir, manusia mengembangkan pengetahuan yang dimilikinya untuk tidak menyerah pada kondisi lingkungan tertentu, sampai muncul konsep-konsep gagasan yang dihasilkan, dilanjutkan dengan perilaku adaptif, dan mengupayakan wujud yang secara fisik dapat dimanfaatkan untuk menaklukan alam. Peralatan yang digunakan manusia, baik sederhana maupun modern hakekatnya adalah mengatasi tantangan alam, baik fisik maupun geografis. Periode sekarang kita mengenal internet dan mobile phone untuk menghubungkan antar manusia yang terpisah secara geografis. Dengan demikian kecerdasan yang dimiliki manusia hakekatnya diperuntukkan menjawab tantangan alam.
Tidak semua produk kecerdasan manusia (budaya) dianggap sebagai kearifan lokal. Perlu diperhatikan pendapat S.Swarsi Geriya (2003), secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal dengan demikian adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Menurut Ataupah (2004) kearifan lokal bersifat historis tetapi positif. Nilai-nilai diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan secara lisan kepada generasi berikutnya lalu oleh ahli warisnya tidak menerimanya secara pasif dapat menambah atau mengurangi dan diolah sehingga apa yang disebut kearifan itu berlaku secara situasional dan tidak dapat dilepaskan dari sistem lingkungan hidup atau sistem ekologi/ekosistem yang harus dihadapi orang-orang yang memahami dan melaksanakan kearifan itu.
Sebagai negara yang kepulauan yang luas, Indonesia kaya dengan pengetahuan, tradisi, dan artefak yang menjadi identitas masing-masing kelompok masyarakat sebagai respon tantangan alam. Banyak pengetahuan yang dimiliki sebagai hasil mengingat fenomena alam yang berulang-ulang, dan diimplementasikan melalui aktivitas sehari-hari dan benda-benda teknologi sebagai sarana mereka untuk tetap bertahan.
Salah satu contoh pengetahuan masyarakat yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari adalah sistem penanggalan "pranatamangsa (pranotomongso)" petani masyarakat di Jawa. Penanggalan tersebut menjadi salah salah satu panduang bagi petani untuk menentukan kapan mereka harus menanam, dan kapan mereka harus membiarkan tanah untuk memulihkan kesuburannya. Pranatamangsa merupakan sebuah sistem penanggalan tentang penentuan musim yang dijadikan pedoman masyarakat tani pada zaman dulu. Pranotomongso berasal dari kata Pranoto dan Mongso. Mongso artinya musim. Pranotomongso merupakan bagian dari perhitungan Petangan Jawi yang juga menghitung baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak  suatu hari, tanggal, bulan, tahun, wuku, pranotomongso.
Pranatamangsa sangat akrab dengan kehidupan pertanian terutama bagi petani masa lalu, sebagai sebuah pedoman dalam bercocok tanam jauh sebelum masuknya agama Hindu. Kalender Pranatamangsa ini sudah diberlakukan oleh masyarakat Jawa sebelum Hindu datang, kemudian dibakukan oleh Sri Paku Buwono VII (raja kerajaan Surakarta) pada tahun 1855 M. Pada saat itu Raja memberi patokan bagi para petani agar mempunyai hasil panen yang baik. Ini dilakukan untuk menguatkan sistem penanggalan yang mengatur tata kerja dalam ruang dan waktu bagi masyarakat tani untuk mengikuti peredaran musim dari waktu ke waktu. Selama ribuan tahun nenek moyang telah menghafalkan pola musim, iklim dan fenomena alam lainnya, sehingga mereka dapat membuat kalender tahunan bukan berdasarkan kalender syamsiah (masehi) atau kalender komariah (Hijrah/lslam) tetapi berdasarkan kejadian-kejadian alam yaitu seperti musim penghujan, kemarau, musim berbunga, dan letak bintang di jagat raya, serta pengaruh bulan purnama terhadap pasang surutnya air laut.
Penanggalan Pranatamangsa ini disusun dengan melihat kebiasaan kejadian-kejadian alam pada masa itu yang dianalisis secara cermat untuk menghasilkan 12 bulan yang mempunyai karakter berbeda. Ke 12 bulan tersebut yaitu: 1) Kaso, “sotyo murco saking embanan” (mutiara lepas dari pengikatnya), musim daun-daun gugur pohon-pohon jadi gundul, 2) Karo, “bantolo rengko” (tanah retak), musim tanah jadi gersang dan retak-retak, 3) Katigo, “suto manut ing bopo” musim pucuk tanaman menjalar pada rambatan, 4) Kapat, “waspo kumembeng jroning kalbu” musim sumber-sumber jadi kering, 5) Kalimo, "pancuran emas sumawur ing jagad”, mulai musim hujan, 6) Kanem, “roso mulyo kasucian” musim pohon-pohon mulai berbuah, 7) Kapitu, “wiso kenter ing maruto”, musim bertiupnya angin yang mengandung bias (penyakit), 8) Kawolu, “anjrah jroning kayun” musim kucing kawin, padi mulai berubah, banyak uret, 9) Kasongo,“wedaring wono mulyo” musim jangkrik, gasir, gareng poung, (banyak orang bicara berlebih-lebihan), 10) Kasepuluh,gedong mineb jroning kalbu” musim binatang-binatang hamil, dastho, “Sotyo sinoro wedi” musim burung-burung menyuapi anaknya. sodo, “Tirto sah saking sasono” (air pergi dari tempatnya), musim dingin, orang jarang berkeringat karena teramat dingin, 11) Kasewelas, (destha atau padawana) dan 12) Karolas, (sadha atau asuji).

Pembelajaran Geografi di Sekolah
1.      Konsep Lokasi, yaitu letak di permukaan bumi, misalnya Gunung Bromo terletak di Jawa Timur, Sungai Barito terletak di Kalimantan Selatan, Pantai Losari terletak di Sulawesi Selatan.
2.      Konsep Jarak, yaitu jarak dari satu tempat ke tempat lain yang dibedakan menjadi jarak absolut dan jarak relatif. Jarak absolut merupakan sesungguhnya di atas permukaan bumi, sedangkan jarak relatif adalah jarak tidak sesungguhnya karena dipengaruhi oleh rute, waktu, biaya, kenyamanan dan sebagainya.
3.      Konsep Keterjangkauan, yaitu mudah atau tidaknya suatu tempat dijangkau. Keterjangkauan dipengaruhi oleh jarak sarana prasarana, dan perkembangan teknologi.
4.      Konsep Pola, yaitu persebaran fenomena antara lain misalnya pola pemukiman yang menyebar, yang berbentuk garis dan sebagainya.
5.      Konsep Morfologi, yaitu bentuk lahan, misalnya dalam kaitannya dengan erosi dan sedimentasi.
6.      Konsep Aglomerasi, yaitu pola-pola pengelompokan/ konsentrasi. Misalnya sekelompok penduduk asal daerah sama, masyarakat di kota cenderung mengelompok seperti permukiman elit, pengelompokan pedagang dan sebagainya. Di desa masyarakat rumahnya menggerombol/mengelompok di tanah datar yang subur.
7.      Konsep Nilai Kegunaan, yaitu nilai suatu tempat mempunyai kegunaan yang berbeda-beda dilihat dari fungsinya. Misalnya daerah wisata mempunyai kegunaan dan nilai yang berlainan bagi setiap orang. Tempat wisata tersebut belum tentu bernilai untuk pertanian atau fungsi lainnya.
8.      Konsep Interaksi dan Interdependensi, yaitu keterkaitan dan ketergantungan satu tempat dengan tempat lainnya, misalnya antara kota dan desa sekitarnya terjadi saling membutuhkan.
9.      Konsep Deferensiasi Areal, yaitu fenomena yang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya atau kekhasan suatu tempat.
10.  Konsep Keterkaitan Keruangan (asosiasi), yaitu menunjukkan derajat keterkaitan antar wilayah, baik mengenai alam atau sosialnya.

Suharyono (2013) mengingatkan kembali inti hasil seminar nasional pengajaran ilmu bumi yang diselenggarakan tahun 1972 tentang saran-saran positif bagi terselenggaranya pengajaran geografi yang layak. Seharusnya geografi sekolah memiliki tujuan yang hidup, bukan sekedar menghidangkan sederetan nama tempat, gunung dan sungai, atau menceritakan tentang kehidupan di sekitar atau memberi petunjuk untuk bersikap toleran terhadap orang yang berasal dari luar yang berbeda warna kulit, bahasa, agama, makanan, dan pakaian. Seminar 1972 tersebut mengusulkan sejumlah tujuan pengajaran geografi yang meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap, yang meliputi: a) menanamkan kesadaran ke Tuhan Yang Maha Esa, b) mengembangkan cara berpikir untuk dapat melihat dan memahami relasi dan interaksi gejala-gejala fisis maupun sosial dalam konteks keruangan, c) menanamkan kesadaran masyarakat, d) menanamkan rasa etis dan estetis, e) menumbuhkan pengenalan dan kecintaan akan tanah air serta menanmkan rasa cinta dan hormat kepada sesama manusia, f) memberikan kemampuan untuk membudayakan alam sekitar serta menanamkan kesadaran akan keharusan kerja dan berusaha untuk dapat menikmati atau memanfaatkan kekayaan alam sekitar, g) mengembangkan keterampilan untuk melakukan pengamatan, mencatat, memberi tafsiran, menganalisis, mengklasifikasikan dan mengevaluasi gejala-gejala serta proses fisi dan sosial dalam lingkungannya, h) memupuk keterampilan membuat deskripsi dan membuat peta, i) mengembangkan keterampilan membuat deskripsi dan komparasi wilayah, j) memupuk kesadaran ekologi, k) memupuk kesadaran dan perlunya keseimbangan potensi wilayah dan populasi, l) menanamkan pengertiantentang potensi lingkungan dan kemungkinan-kemungkinan usaha yang ada dalam lingkungan serta mengembangkan pandangan luas dan cita-cita yang rasional dalam memilih dan mengkreasikan lapangan kerja.
Agar materi pembelajaran geografi tidak salah sasaran, maka perlu dipertimbangkan strategi yang tepat agar materi geografi tidak dianggap sebagai pelengkap penderitaan bagi siswa yang belajar. Strategi perlu dibedakn sesuai dengan tingkatan siswa. Pengajaran geografi pada siswa SD berbeda dengan SMP dan SMA, yang intinya tiap tingkatan pendidikan memerlukan strategi yang berbeda. Pada tingkat SD pelajaran geografi masih bersifat deskriptif dan memberikan pemahaman dasar tentang fenomena (gejala) lingkungan alam dan kehidupan di muka bumi dengan membatasi materi pada hal-hal yang paling esensial, yang sejalan dengan pengetahuan sejarah, ekonomi dan pengetahuan sosial yang diberikan pada siswa SD dalam wadah mata pelajaran IPS. Materi disampaikan dari hal nyata lingkungan terdekat siswa, kemudia meluas dan kian abstrak pada kelas-kelas lanjut (sesuai dengan tinkat pemahaman siswa SD. Guru perlu melengkapi pembelajaran dengan media bantu yang sesuai agar tidak terjadi salah pemahaman. Media yang dapat digunakan diantaranya peta, globe,, dan media lain yang dianggap sesuai yang dapat dimanfaatkan. Guru dapat memanfaatkan naluri bermain siswa SD untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih menyenangkan. Siswa SD tidak perlu ditarget mampu mendeskripsikan pengetahuan geografi secara tekstual, tapi cukup mampu menceritakan pengalaman siswa tentang lingkungan sekitarnya.
Pada tingkatan SMP guru bisa menyampaikan materi melalui konsep-konsep yang lebih abstrak (sesuai tingkatan siswa SMP).  Materi pelajaran geografi perlu dilengkapi dengan pengamatan langsung di lapangan atau melihat keadaan sebenarnya yang dijumpai dalam realitas kehidupan. Kegiatan itu perlu karena: a) perlu untuk pemantapan dalam pembentukan konsep-konsep penting guna pemahaman konsep esensial geografi, b) perlu conto-contoh materi berkaitan dengan upaya pengembangan muatan lokal. Sebagai informasi, perkembangan kurikulum telah menetapkan bahwa materi geografi diberikan kepada siswa bersama materi ekonomi, sejarah, dan sosiologi dalam wadah mata pelajaran IPS. Guru yang mengampu mata pelajaran IPS juga beragam latar belakang pendidikannya, ada yang berasal dari lulusan pendidikan ekonomi, sejarah, sosiologi, IPS, bahkan di beberapa sekolah masih ada guru IPS yang berasal dari lulusan di luar jurusan yang telah disebutkan dengan berbagai penyebab. Untuk mendukung kegiatan pembelajaran guru perlu menggunakan media yang sesuai dengan kondisi siswa, kemampuan sekolah, dan materi yang akan diajarkan. Penggunaan media gambar, slide, video, dan media lain merupakan alat bantu yang efektif untuk menuntun siswa memahami materi yang bersifat abstrak dan yang penting laigi menumbuhkan kemampuan berliterasi geografi. Pada siswa SMA/MA, materi geografi telah disusun secara mandiri sebagai mata pelajaran geografi.
Ada beberapa faktor geografi tidak dianggap menarik di sekolah. Menurut Enok Maryani (2006), faktor-faktor tersebut adalah a) pelajaran geografi seringkali terjebak pada aspek kognitif tingkat rendah yaitu menghafal nama-nama tempat, sungai dan gunung, atau sejumlah fakta lainnya, b) ilmu geografi seringkali dikaitkan ilmu yang hanya pembuatan peta, c) geografi hanya menggambarkan tentang perjalanan perjalanan manusia di permukaan bumi, 4) proses pembelajaran ilmu geografi cenderung bersifat verbal, kurang melibatkan fakta-fakta aktual, tdak menggunakan media kongkrit dan teknologi mutahir, e) kurang aplikabel dalam memecahkan masalah-masalah yang berkembang saat ini.


Daftar Pustaka
Enok Maryani. 2006. Geografi dalam Perspektif Keilmuan dan Pendidikan di Persekolahan
Iwan Hermawan. 2009. Geografi Sebuah Pengantar. Bandung. Private Publishing
Suharyono & Moch. Amien. 2013. Pengantar Filsafat Geografi. Yogyakarta. Penerbit Ombak
Wagiran. 2012. Pengembangan Karakter Berbasis Kearifan Lokal "Hamemayu Hayuning Bawana"(Identifikasi Nilai-nilai Karakter Berbasis Budaya). Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun II, Nomor 3, Oktober 2012

0 komentar:

Post a Comment

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design