Oct 18, 2010

Menimbang Pindah Ibu Kota

MI. Jumat, 15 Oktober 2010 00:01 WIB
Di tahun ke-3 kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo, wacana pemindahan ibu kota Republik Indonesia terus bergulir. Wacana itu tidak terlepas dari penilaian sebagian besar masyarakat bahwa begitu banyak permasalahan di Jakarta yang belum terselesaikan dan terus menumpuk. Apa betul bahwa masalah di Jakarta dapat terselesaikan? Butuh waktu berapa lama menyelesaikannya? Ataukah Indonesia memang sudah butuh ibu kota baru?

Pertimbangan penduduk
Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010 menunjukkan jumlah penduduk DKI Jakarta mencapai 9,6 juta jiwa. Padahal luas daratan Jakarta hanya 661,52 km2. Kepadatan penduduk mencapai 14 ribu jiwa per km2. Jumlah penduduk saat ini melampaui proyeksi penduduk Jakarta yang sebenarnya diperkirakan 'hanya' 9,3 juta jiwa pada 2010. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) DKI Jakarta periode 2000-2010 mencapai angka 1,39%, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan LPP 1990-2000 yang hanya 0,17%. Tingginya LPP DKI Jakarta dipicu besarnya migrasi masuk. Angka kelahiran di Jakarta sudah rendah, dengan rata-rata anak yang dimiliki perempuan usia subur sekitar 1,6 anak. Jakarta ternyata masih menarik sebagai daerah tujuan migrasi.
Untuk wilayah Jabodetabek, hasil SP 2010 menunjukkan jumlah penduduk di kawasan ini sudah mencapai 27,94 juta jiwa (sekitar 12% penduduk Indonesia). Padahal, luas wilayah Jabodetabek kurang dari 0,5% luas wilayah Indonesia. LPP 2000-2010 Jabodetabek mencapai 2,82%. Jauh melampaui LPP nasional (sekitar 1,49%). Jika LPP Jabodetabek stabil, dipastikan dalam 25 tahun mendatang jumlah penduduk Jabodetabek mencapai 56 juta jiwa.
Membaiknya infrastruktur yang menghubungkan Jakarta dengan daerah penyangga mendorong orang untuk tinggal di daerah penyangga. Alasan lain tinggal di daerah penyangga ialah mahalnya harga tanah serta terbatasnya lahan kosong di Jakarta. Padahal umumnya aktivitas mereka di Jakarta. Terjadi fenomena urban sprawl, akibat perambatan aktivitas yang 'boros lahan'. Konversi lahan di Jabodetabek sangat cepat dan merambah daerah di luar Jabodetabek seperti Karawang. Kebutuhan perumahan meningkat drastis dan ketersediaan kawasan resapan air serta lahan pertanian berkurang secara signifikan. Penduduk mulai mengonsumsi air tidak terlindungi yang kualitasnya rendah. Padahal kualitas hidup manusia terkait erat dengan kualitas air yang digunakannya.

Pertimbangan mobilitas
Pertumbuhan penduduk di penyangga Jakarta (wilayah Bodetabek) menimbulkan masalah karena arus komuter dari daerah penyangga ke wilayah Jakarta sangat besar. Meskipun bekerja di Jakarta, banyak komuter memilih daerah penyangga sebagai tempat tinggal. Terdapat sekitar 1,4 juta komuter menuju Jakarta setiap harinya (BPS, 2009). Komuter adalah orang yang melakukan perjalanan ulang alik untuk kepentingan bekerja. Sekitar 21,3% komuter bekerja sebagai pegawai pemerintah (administrasi pemerintahan, pertahanan). Jika seandainya pemerintah memindahkan pusat pemerintahan saja, setidaknya akan mengurangi seperlima komuter di Jakarta.
Peningkatan jumlah komuter tidak diimbangi peningkatan kualitas dan kuantitas transportasi massal. Jadi, banyak komuter yang memilih menggunakan kendaraan pribadi. Pada 2007, pertumbuhan jumlah mobil di DKI Jakarta sekitar 7,75%, sedangkan pertumbuhan motor 12,5%. Padahal, antara 2003 dan 2007 nyaris tidak ada penambahan infrastruktur jalan baru, selain pembangunan 21 terowongan dan jalan layang. Luas jalan di Jakarta hanya 6,3% dari luas lahan yang ada. Angka yang sangat kecil jika dibandingkan dengan kota besar di negara maju yang mencapai 20%.
Tidak mengherankan jika dengan pertumbuhan kendaraan pribadi yang besar tetapi luas jalan yang kecil, kemacetan di Jakarta semakin parah. Hasil penelitian memprediksi setiap menit waktu yang dihabiskan untuk kemacetan menciptakan kerugian opportunity cost sekitar Rp9,34 miliar. Dalam 15 tahun, telah terjadi peningkatan travel time dalam Kota Jakarta sebesar 2 kali lipat. Bahkan secara rata-rata, 40% dari waktu perjalanan seorang komuter di Jakarta hanya dihabiskan untuk berhenti karena macet. Tidak mengherankan jika banyak orang frustrasi dalam menghadapi kemacetan.

Manfaat pemindahan ibu kota
Setidaknya muncul dua alternatif solusi yang berkembang saat ini. Pindah ibu kota atau hanya pindah pusat pemerintahan. Hal itu sangat bergantung pada tujuan pemindahan itu sendiri. Pindah pusat pemerintahan lebih bermanfaat untuk mengurangi beban Jakarta saja. Akan ada kecenderungan bahwa pusat pemerintahan dipindahkan tidak jauh dari Jakarta. Sebaliknya pindah ibu kota akan menciptakan manfaat yang lebih besar daripada sekadar mengurangi beban Jakarta. Pemindahan ibu kota bukan sekadar memindahkan masalah Jakarta ke tempat lain.
Pemindahan ibu kota negara juga bermanfaat untuk mendorong persebaran penduduk dan manfaat pembangunan yang lebih merata. Hal itu bertujuan menghindari pembangunan yang bersifat enklave. Meskipun otonomi daerah telah 'menyebarkan uang' ke daerah, jumlah penduduk yang tinggal di Pulau Jawa masih mencapai 57,49% dari penduduk Indonesia. Hanya turun 1,5% jika dibandingkan dengan persentase distribusi penduduk Jawa sebelum otonomi daerah (58,93%). Otonomi daerah belum mampu mendorong pemerataan penduduk dan manfaat pembangunan. Selama 65 tahun merdeka, Indonesia secara spasial masih mengalami kesenjangan regional. sekitar seperlima produk domestik bruto (PDB) Indonesia disumbangkan Jakarta. Hampir 40% kredit disalurkan atau disahkan hanya di Jakarta.
Penting untuk mempertimbangkan ketersediaan lahan dalam pemilihan lokasi ibu kota baru. Sebaiknya pemindahan dilakukan ke daerah yang tidak menimbulkan kompetisi lahan dengan sektor pertanian. Ibu kota baru akan berkembang dan membutuhkan ekspansi lahan aktivitas nonpertanian dalam jangka panjang. Pemindahan ibu kota ke arah Jawa Barat akan mengancam ketahanan pangan nasional mengingat Jawa Barat merupakan salah satu lumbung pangan nasional dan penghasil padi terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa Timur. Keputusan pemerintah memindahkan ibu kota seharusnya tidak hanya didasarkan pada pertimbangan manfaat jangka pendek. Jakarta tentunya ingin tetap menjadi ibu kota Indonesia. Membenahi Jakarta pasti tidak mudah dan butuh waktu. Namun, berapa lama lagi kita harus menunggu? Jika Jakarta tidak mampu menyelesaikan masalahnya dalam beberapa tahun lagi, keputusan memindahkan ibu kota akan menjadi keputusan terbaik.

Oleh Sonny Harry B Harmadi, Kepala Lembaga Demografi dan Pengajar Ekonomi Perkotaan FEUI

3 komentar:

Unknown said...

Apakah seandainya ibukota negara dan pusat pemerintahan di pulau lain dapat di wujudkan?
Karena ada beberapa manfaat yang dapat di wujudkan jika pemindahan ibukota negara di pindahkan ke pulau lain, antara lain untuk mengurangi jumlah penduduk di pulau jawa juga untuk membangun daerah terpencil di pulau yang dijadikan ibukota negara tersebut.

wahyu w said...

masalah pemindahan ibu kota memang sering mjdi bahan pembicaraan yg hot diberbagai negara, tdk trkecuali dg indonesia. berkaca pd negara lain spt amerika (dulu di new york, skrg di washington) atu juga tetangga kita Malaysia (dulu di Kuala Lumpur, skrg pindah ke Putra Jaya), sy kira tdk ada salahnya jika kita mndukung rencana pemerintah utk relokasi pusat pemerintahan negara kita, sdg utk pusat bisnis dan perdagangan sy sndri ttp stju di jakarta saja yg tlh siap baik sarana maupun prasarananya.

rezza_mustagfiri said...

NAMA :REZZA MUSTAGFIRI
NIM :3201409080
Prodi:P.Geografi
Masalah pemindahan Ibukota menjadi topik yanh cukup hangat diperbincangkan akhir2 ini.Hal tersebut tidak terlepas dari atas hal tidak mampunya lagi Jakarta sebagai ibukota memberikan sokongan pemerintahan.Dibutuhkan suatu wilayah yang cukup luas yang nantinya ditempatkan sebagai ibukota ataupun hanya memperluas kota2 disekitar ibukota untuk dijadikan wilayahnya.Asal semua hal tersebut dapat bermanfaat bagi masyarakat tanpa meninggalkan sejarah Indonesia selama ini.

Post a Comment

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design