Oct 18, 2010

Masalah Banjir yang Selalu Berulang


Oleh Baharuddin Aritonang, Pengamat sosial

MI. Persoalan banjir sesungguhnya persoalan yang kita hadapi setiap tahun. Selalu berulang dan berulang. Cuma kadarnya yang naik turun. Banjir besar atau banjir kecil. Berita terakhir banjir bandang di Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat, yang korbannya mencapai lebih dari 100 orang.

Pertanyaannya adakah kita mampu menghilangkan bencana banjir? Mungkin percuma saja. Jadi kalau ada pejabat yang berujar sebagai ahlinya banjir, tidak salah juga. Kalimat itu bisa diartikan macam-macam. Misalnya ahli pembuat banjir atau ahli penyebab banjir. Bisa juga ahli mendramatisasi banjir. Atau ahli menghadapi banjir, bagaimanapun risikonya. Kita saja yang salah mengartikannya, seolah kalimat 'serahkan ahlinya' itu diartikan sebagai ahli untuk menghilangkan atau menghentikan banjir. Padahal bukan itu maksudnya. Lagi pula, bila keadaannya sudah seperti sekarang ini, manalah mungkin banjir dapat dihilangkan? Paling-paling kadarnya diturunkan.

Namanya saja alam, setiap tahun menurunkan hujan. Bahkan kita hanya mengenal dua musim, yakni musim kering atau kemarau dan musim hujan. Masyarakat kita sudah bertumbuh apa adanya tanpa ada perencanaan serta tuntunan untuk dapat hidup teratur serta jauh dari musibah banjir. Lagi pula sejarah bertumbuhnya kota-kota di negeri ini lahir dari tepian sungai atau pantai. Wajarlah bila pertumbuhan penduduk menyebabkan pembangunan di tepian itu tak terkendali.

Tuntutan perumahan dan permukiman juga tidak mempertimbangkan faktor semacam itu. Lihat di pembangunan perumahan, masih tetap bersifat 'lapar tanah'. Artinya pembangunan perumahan yang mengandalkan luas lahan, belum menuju ke atas alias pembangunan apartemen. Bahkan sebaliknya, apartemen dibangun untuk kebutuhan 'orang-orang kaya'. Padahal di banyak negara, perumahan rakyat justru dicukupi dalam bentuk rumah susun alias apartemen. Kalaupun ada kondominium alias apartemen untuk orang-orang kaya, jumlahnya lebih sedikit.

Akibatnya di mana ruang kosong, akan diisi dengan perumahan. Termasuk areal yang sesungguhnya untuk jalur hijau atau rawa-rawa dan daerah aliran sungai. Tak mengherankan bila daerah Bandung Selatan tergenang terus. Di berbagai negara daerah semacam itu tidak boleh dibangun dan bahkan dibiarkan apa adanya. Lihatlah daerah yang masuk areal banjir, pada umumnya adalah daerah seperti ini. Dalam buku saya, Orang Batak Naik Haji, saya menulis ke mana perginya air itu kalau bukan untuk membanjiri permukiman?

Pemerintah
Dari audit BPK atas banjir di daerah Jember beberapa tahun lalu, dapat ditelusuri bahwa sesungguhnya banjir ini disebabkan ulah kita juga. Jika permukiman liar di bantaran sungai atau ulah lain yang mendukung terjadinya banjir seperti membuang sampah sembarangan dipicu masyarakat, tiadanya pengaturan atau pemberian izin perumahan atau areal usaha didaerah yang tidak semestinya tentulah ulah pemerintah. Demikian halnya hasil audit tersebut, peraturan perundang-undangan yang menjaga lingkungan hidup pada umumnya tidak berjalan sebagaimana yang diatur itu. Pegunungan dengan kemiringan tanah 40 derajat yang semestinya diisi tumbuhan besar dengan akar kuat justru dibabat untuk diisi dengan tanaman kopi yang rentan terhadap longsor. Demikian juga bantaran sungai di lereng pegunungan itu telah diubah peruntukannya. Penggantian tanaman dan perubahan bantaran sungai itu dilakukan perusahaan daerah perkebunan kopi, yang justru dibentuk pemerintah daerah. Perusahaan daerah itu memang mampu memberi penerimaan Rp2 miliar setahun atau Rp10 miliar selama lima tahun bagi pendapatan asli daerah. Akan tetapi, begitu terjadi longsor dan banjir bandang datang, kerugian materi yang diakibatkannya saja tidak kurang dari Rp100 miliar. Belum lagi korban jiwa. Jika angka-angka yang digambarkan itu menunjukkan eksternalitas mereka, dari sudut audit kinerja yang dilakukan terhadap pemerintah dalam hal lingkungan hidup menunjukkan pemerintahan, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten, tidak melaksanakan fungsi yang sesungguhnya.

Artinya, dalam banyak hal pemerintahan pada dasarnya juga tidak berjalan dalam upaya pencegahan banjir. Pemerintah dan berbagai organisasi justru baru menunjukkan perannya ketika banjir sedang berlangsung. Bahkan sering kali dapat ditegaskan bahwa pemerintah dan masyarakat bersama-sama beraktivitas yang mempermudah atau memberi peluang bagi terjadinya musibah dalam bentuk longsor dan banjir.

Terkadang ada juga kemajuan pemerintah dalam berpikir dan bertindak. Di Jakarta, misalnya, kita dapat melihat langkah-langkah yang ditempuh pemerintah daerah dalam menegakkan penggunaan jalur hijau. Beberapa pompa bensin yang dulu sering saya kecam di beberapa jalur hijau kini telah dibongkar. Begitu juga beberapa bangunan liar, walau masih sering digunakan secara kucing-kucingan oleh pengguna lahan. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pun telah bersikukuh untuk menyelesaikan proyek Kanal Banjir Timur tahun ini juga. Meskipun keampuhan proyek itu, khususnya dalam menanggulangi banjir di Ibu Kota, belum dapat dibuktikan, setidaknya proyek itu memberi harapan.

Hutan
Tapi Indonesia bukanlah hanya Jakarta. Di beberapa daerah, pembalakan liar masih berlangsung terus. Beberapa media massa telah berulang kali melaporkannya. Saya tidak tahu adakah institusi dan pejabat yang berwenang bereaksi terhadap laporan tersebut. Bahkan di beberapa tempat pembabatan hutan berlangsung di depan mata, baik dengan dalih untuk perkebunan kelapa sawit atau hanya untuk membuka areal perkebunan. Lihatlah, misalnya, Bukit Soeharto di Kalimantan Timur, atau di daerah Provinsi Riau di Sumatra. Bahkan di beberapa taman nasional, yang terakhir tidak jauh dari ibu kota negara, yakni di daerah Bogor, sebagaimana yang diberitakan tanpa henti oleh Media Indonesia. Belum lagi pertambangan, khususnya batu bara, baik yang memiliki izin resmi maupun yang liar. Atau daerah tambang di taman nasional atau hutan lindung.

Karena telanjur sudah banyak areal yang rusak parah, perlu langkah tegas dan spektakuler dari pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Kalau perlu, dilakukan moratorium untuk menghentikan sementara semua aktivitas yang berhubungan dengan penebangan kayu. Sejalan dengan itu, perlu dilakukan evaluasi menyeluruh atas untung ruginya melanjutkan pengeluaran izin usaha di bidang perkayuan, termasuk pengaturan yang lengkap dan menyeluruh bagi upaya rehabilitasi hutan yang selama ini telanjur sudah hancur-hancuran. Banjir hanyalah salah satu dari dampaknya.

Sejalan dengan itu diperlukan pengaturan ulang atas tata ruang, baik di ibu kota negara maupun seluruh daerah di Indonesia. Untuk Jakarta, mungkin sudah saatnya meneruskan pemindahan pusat pemerintahan, dan kalau perlu pemindahan ibu kota negara. Demikian juga halnya berbagai daerah. Banyak daerah, khususnya Pulau Jawa, yang sudah terlalu berat menopang jumlah penduduk yang terlalu padat. Salah satu dampak kepadatan penduduk adalah penebangan kayu dan perambahan hutan, khususnya yang berada di daerah hulu. Hancurnya lingkungan di daerah hulu menyebabkan datangnya banjir kiriman. Sementara itu, untuk pembangunan permukiman baru, perlu diatur penyiapan lahan yang sesuai dengan peruntukannya.

Artinya, semua komponen pemerintahan perlu digerakkan untuk melaksanakan fungsinya dengan sebaik-baiknya. Khususnya yang terkait dengan penataan penduduk beserta lingkungan hidupnya. Bukan saatnya lagi masyarakat dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri, tanpa pengaturan dari pemerintah. Justru pemerintahan dibuat untuk kepentingan tersebut. ***

1 komentar:

rezza_mustagfiri said...

NAMA :REZZA MUSTAGFIRI
NIM :3201409080
Prodi:P.Geografi
Masalah banjir yang akhir-akhir sering melanda negara kita tidak terlepas dari 2 faktor, yakni:faktor dari alam yang senantiasa berubah sebagai tindak lanjut dari faktor dari manusia sendiri yang kurang menghargai lingkungannya.Olehkarana itu dibutuhkan usaha nyata dalam penyelesaian masalah ini secara bersama-bersama oleh semua pihak yang terlibat

Post a Comment

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design