Oct 17, 2010

Kultus dalam Sepotong Lagu

MI. Sabtu, 16 Oktober 2010 00:00 WIB 
KULTUS individu sesungguhnya sebuah kultur usang yang semestinya sudah kita kubur sedalam-dalamnya. Akan tetapi, bangsa ini sepertinya masih berkutat dari satu kultus individu ke kultus individu lain, kendati zaman telah melompat jauh dari era otoriter menuju era demokratis, dari tradisi menuju modernisasi.

Tengoklah bagaimana Presiden Soekarno dikultuskan sebagai Bapak Revolusi. Tengoklah pula bagaimana Presiden Soeharto dikultuskan sebagai Bapak Pembangunan.

Keduanya dikultuskan di masa kejayaan masing-masing, yang berkuasa sebagai rezim otoriter. Rezim otoriter membutuhkan kultus individu itu sebagai perangkat melanggengkan kekuasaan.

Akan tetapi, celakalah negeri ini jika kultus individu itu berlangsung di era demokratis, ketika kekuasaan tak boleh lagi langgeng semaunya, tetapi dibatasi konstitusi.

Kenyataannya, justru fakta itulah yang terjadi ketika lagu ciptaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu materi soal seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil Kementerian Perdagangan.

Terkesan ada upaya pengultusan dalam perkara ini. Pengetahuan tentang lagu ciptaan SBY tidaklah menjadi ukuran kompetensi calon pegawai negeri sipil. Masih banyak soal pengetahuan umum lain yang bisa diajukan untuk mengukur kompetensi seorang calon pegawai negeri sipil.

Wajar jika spekulasi bermunculan. Salah satunya menyebutkan jangan-jangan pertanyaan itu muncul sebagai titipan untuk melakukan survei diam-diam terhadap popularitas SBY yang cenderung melorot belakangan ini.

Ihwal siapa yang menitipkan soal itu, semua bungkam. Baik pihak Istana maupun Kementerian Perdagangan angkat bahu, menjawab tak tahu-menahu.

Padahal, dalam setiap upaya pengultusan senantiasa ada udang di balik batu. Yaitu ingin cari muka dan berharap beroleh imbalan tertentu.

Kecenderungan pengultusan SBY lewat lagu ciptaannya tidak hanya terjadi pada seleksi calon pegawai negeri sipil Kementerian Perdagangan. Hal itu juga terjadi ketika lagu ciptaan SBY dinyanyikan pada Upacara Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2010 di Istana Merdeka. Itu dapat ditafsirkan sebagai upaya untuk menyejajarkan lagu ciptaan SBY dengan lagu-lagu perjuangan, seperti Bagimu Negeri dan Satu Nusa Satu Bangsa.

Gejala pengultusan lewat lagu dalam dua peristiwa itu tidaklah terjadi secara kebetulan. Lagu yang muncul dalam dua peristiwa itu adalah lagu yang sama, yaitu Mentari Bersinar.

Adalah penting untuk belajar dari sejarah bahwa dua presiden yang dikultuskan, yaitu Bung Karno dan Pak Harto, akhirnya jatuh di tengah jalan dari puncak kekuasaan. Bahkan, kejatuhannya itu disertai dengan hujatan yang panjang.

Seorang SBY sebaiknya dikenang sebagai presiden yang berhasil memberantas korupsi, ketimbang diingat sebagai pencipta lagu.

0 komentar:

Post a Comment

 
Free Host | new york lasik surgery | cpa website design